(19) TRUE PARTNER

986 130 4
                                    

Hari keempat petualangan. Semangat baru menerjang. Siap hadapi rintangan yang menantang.

Zeva mengantar keempat kesatria Zeros ke tepi laut. Sebuah perahu usang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Masing-masing tas selempang sudah diisi perbekalan baru yang lebih banyak. Juga ada beberapa persediaan gaun yang sempat Valerie dan Henrick beli semalam ketika hendak membeli makanan.

"Bantuanmu sangat berarti, Zeva. Terima kasih banyak," ujar Stella.

"Tidak masalah, aku senang membantu kalian." Zeva tersenyum tulus. Kehadiran Stella, Valerio, Valerie, dan Henrick menepis kesepian di rumahnya untuk semalam. Mereka berempat adalah tamu yang sopan.

"Mari lanjutkan perjalanan," seru Valerio.

Perahu mesin segera dinaiki empat orang. Seperti biasa, Valerio mengambil posisi nahkoda. Henrick berjaga di belakang seraya melepas ikatan perahu di sebuah tiang kecil.

"Sampai jumpa!" pamit Stella dan Valerie bersamaan sambil melambaikan tangan.

Zeva balas melambaikan tangan. Perlahan, kehadiran mereka lenyap.

---oOo---

Pulau Para Peri menjadi tujuan berjalan berikutnya. Jarak dari Pulau Musim Dingin ke Pulau Para Peri lebih jauh dibandingkan jarak dari Pulau Sonitus ke Pulau Musim Dingin. Dilihat dari peta, jarak perjalanan ini yang menempuh jarak terjauh. Diperkirakan akan sampai dalam dua belas jam.

"Pulau Para Peri disebut-sebut pulau terindah." Valerie memberi info.

"Aku masing bingung, apakah di dunia ini punya daerah yang bernama negara? Kita menjelajahi beragam pulau dengan bahasa dan budaya berbeda, tetapi tidak menyebutnya dengan negara. Apakah sebenarnya Zeros, Sonitus, Silentium, dan lain-lain adalah satu negara dengan banyak kebudayaan? Seperti di negaraku yang dulu?"

"Tidak ada tanah yang dinamakan negara di dunia ini. Zeros, Sonitus, Musim Dingin, atau Silentium diibaratkan klan. Ya ... mungkin bisa disebut negara jika dalam bahasa dunia manusia biasa," jawab Valerio.

"Kamu tau sendiri kalau dunia kita dengan dunia luar itu berbeda, Stella. Jadi, jangan membebani pikiranmu dengan pertanyaan tidak penting. Kamu hanya perlu beradaptasi lebih dalam agar terbiasa."

Baiklah, mungkin cukup segini saja penjelasan yang Stella terima. Sisanya, Stella yang akan cari tahu sendiri.

Dari petualangan ini, Stella bisa mengambil banyak hikmah. Ia belajar banyak hal dari rintangan-rintangan yang dilewati bersama. Kesolidaritasan yang dijunjung tinggi tanpa kenal waktu dan tempat, juga dukungan yang senantiasa digenggam. Semua itu patut Stella syukuri. Tuan putri tidak selalunya mendapat perlakuan manja, tetapi juga harus tangguh dan siap sedia melawan bahaya. Tuan putri juga seorang pemimpin.

"Kak Valerio," panggil Valerie.

"Hm?"

"Menurutmu, lebih cantik mana antara Stella, Noellie, dan tuan putri kerajaan Este?"

"Valerie!" Stella mendengus karena namanya dilibatkan. Kenapa pula Valerie menanyakan itu?

"Aku hanya bertanya, Stella."

Valerio terdiam sebentar sembari memikirkan jawaban yang pantas. Setengah menit berpikir, akhirnya jawaban pun terlintas.

"Aku tidak memperhatikan kecantikan mereka dari keseluruhan, dan aku tidak mau menilai kecantikan mereka dari satu sisi. Jadi jika kamu bertanya siapa yang lebih cantik, jawabanku, tidak tahu.  Karena wanita memiliki karakteristik cantiknya sendiri." Valerio memberinya jawaban bijak.

Stella bernapas lega setelah mendengar jawaban Valerio. Setidaknya, kebijakan pria itu bisa membuat Valerie berhenti melontarkan pertanyaan aneh. Ia merasa bersalah karena sempat meragukan kebijaksanaan Valerio.

"Aku perhatikan ... kalian semakin dekat akhir-akhir ini. Apakah perasaan benci kalian sudah bertransformasi menjadi cinta?" goda Valerie.

"Valerie!" Stella protes. Apa-apaan? Makin melantur saja topiknya.

"Kedekatanku dengan Stella tidak didasari perasaan apa pun. Jika kami terlihat dekat, bukankah itu wajar karena kami sering menghabiskan waktu bersama di dalam petualangan ini?" timpal Valerio.

Valerie hanya terkekeh. Baiklah, ia kalah. Sebaiknya, ia tak bermain-main dengan otak kakaknya yang kelewat bijak.

"Kamu tau, Kak, tuan putri di seluruh Zeros menginginkan menikah atau bertunangan di usia sembilan belas tahun. Tepat saat usia mereka legal. Ibu juga pernah bercerita, kalau dia menikah dengan Ayah pada saat usia sembilan belas tahun." Henrick mengalihkan topik.

"Lalu?"

"Mungkinkah dirimu menginginkan hal yang sama?" sambung Henrick.

Sewaktu Stella melihat Ratu Aurin di istana Punente, wajah ratu itu sama sekali tidak guratan keriput. Padahal anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Beda dengan Raja Vyn yang sudah berkulit kasar. Mungkinkah Ratu Aurin juga menikah pada saat umur sembilan belas tahun?

"Apakah alasan mereka menikah di usia segitu adalah untuk mempunyai keturunan saat usia masih muda? Jadi para ratu masih terlihat muda meskipun sudah punya anak?" Stella penasaran.

"Benar sekali."

Sudah Stella duga.

"Aku masih belum yakin di usia berapa aku menikah. Masih banyak yang perlu aku persiapkan untuk menjadi wanita terhormat seperti ratu. Tidak ada yang bisa menerka kapan dan dengan siapa kita menikah."

Sepanjang hidup delapan belas tahun, Stella tidak pernah merasakan jatuh cinta. Paling hanya terpana untuk beberapa saat. Jadi, ia sama sekali tidak terpikirkan untuk menikah muda. Ia hanya akan mengikuti garis takdir yang beredar. Kapan dan dengan siapa dia menikah, itu urusan semesta.

Drek! Drek! Drek!

Terdengar suara aneh yang berasal dari mesin perahu. Suara itu memberi kode jika perahu tidak bisa dikendarai lagi. Valerio panik, tetapi ekspresinya tetap terlihat santai.

"Kita kehabisan bahan bakar."

-----------------------------------------------------------------

PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN

Pantengin terus info-info selanjutnya 🥰

STELLA || The Future Holder of Zeros [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang