Bellyna memasuki kelasnya dengan tampang lesu, pasalnya kemarin malam dia bergadang untuk menyelesaikan tugas matematika yang belum rampung dia kerjakan.
Melissa yang melihat kedatangan bestai-nya itu dengan cepat menerjangnya.
"My baby Bellyna! I miss you!" Ujarnya dengan tangan terentang dan bibir memanjang berusaha untuk menciumnya.
Bellyna memasang raut horor, dengan sigap Bellyna menghindar kesamping membuat Melissa meraup udara kosong.
"Jauh-jauh!"
Melissa berdecak sebal, dirinya berkacak pinggang menyorot tajam pada Bellyna yang memasang wajah bodoh amat.
"Kemarin Lo kemana?"
"Bolos." Jawab Bellyna malas.
Mulut Melissa membuat bentuk O, telunjuknya yang bergetar mengarah pada Bellyna yang masih menatapnya."Astaga! Gue gak nyangka Lo bisa bolos!"
Ujung mata Bellyna berkedut, dengan tidak berkeribestian Bellyna mengeplak kepala Melissa dengan pelan, takutnya nanti malah gagar otak dia sendiri nanti yang repot.
Melissa mengaduh kesakitan, matanya menatap Bellyna seolah dia telah dianiaya.
"Jahat banget sama sahabat sendiri." Gumamnya yang mampu di dengar Bellyna.
Bellyna mendengus, tangannya merogoh ke dalam tas mengeluarkan buku bersampul coklat miliknya.
"Udah jangan drama. Nih, jawaban PR matematika."
Melissa mengambil buku itu dengan mata yang berbinar, dia memandang Bellyna dengan tatapan memuja seolah-olah Bellyna adalah sesosok malaikat dalam wujud teman laknat.
"Gue tahu Lo emang seorang malaikat!" Ujarnya dengan menyeka air mata palsu di wajahnya.
_____________________________________
Rosella dan kedua temannya dengan tenang berbaris di lapangan, di sebelah kelas mereka terdapat barisan anak kelas 12 IPA 3. Saat ini kedua kelas sedang melangsungkan pelajaran olahraga, kebetulan guru olahraga yang mengajar kelas Rosella tidak hadir sehingga mereka bergabung dengan kelas 12.
"Mimpi apa gue semalam, kita bisa olahraga bareng mereka!" Ucap Agni dengan semangat. Naura hanya tersenyum cerah melihat kebahagiaan Agni dan Rosella yang terpancar dari binar matanya.
"Mungkin ini yang namanya takdir." Ucap Rosella menyahuti.
Agni mengangguk mantap, "Takdir yang membawa kita pada kebahagiaan."
Sedangkan di sisi lain, barisan kelas 12 yang di isi oleh anggota inti Avegas sangat bising, terutama Rizal dan Bagas yang mengeluhkan panasnya cuaca hari ini padahal saat ini masih termasuk pagi dan matahari tidak begitu terik.
"Panas banget anjir! Skincare gue luntur semua!" Keluh Bagas sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
"Idih, banci Lo! Sama panas kayak gini aja lemah!"
Bagas melirik sinis pemuda itu, "Daripada Lo yang bawa kipas portabel mirip banget sama cewek!"
Rizal tidak menggubris ucapan Bagas, tangannya masih asyik menggenggam kipas portabel mini berbentuk Miky mouse miliknya.
"Suhu panas ini terjadi akibat penipisan lapisan ozon, sehingga terjadi pemanasan global." Sahut Alan dengan wajah stay cool walaupun beberapa keringat mulai terbentuk di dahinya.
Bagas dan Rizal menatap ngeri Alan, kenapa di saat seperti ini makhluk yang 11:12 sama Damian sempat-sempatnya membahas masalah pemanasan global?
Rizal menepuk bahu Alan, "Gue tahu Lo pinter, tapi maaf banget otak gue yang gak nyampe."
Suara peluit membuat mereka tersadar bahwa Pak Joko selaku guru olahraga sudah berdiri tepat di hadapan mereka.
"Gosip terooss..." Cibir Pak Joko.
Bagas dan Rizal hanya bisa meringis ketika tahu mereka ketahuan."Kita gak lagi gosip pak!" Ucap Bagas yang di angguki Rizal.
"Lalu?"
"Kita lagi mendiskusikan masalah kehidupan!" Jawab Rizal sambil tersenyum hingga menampilkan deretan gigi putihnya.
Pak Joko mencibir tidak percaya, dirinya memerintahkan mereka untuk melakukan permainan bola basket bersama dengan anak kelas 10. Kedua kelas mengangguk menyanggupinya.
Saat ini di tangan Damian sudah ada sebuah bola basket yang siap untuk di mainkan. Damian mendribble, menghindar dan menembak bola dengan sangat baik, karena hal itu Pak Joko meminta Damian untuk membantu anak perempuan kelas 10 dalam latihan permainan bola basket.
Rosella kelihatan kesulitan dalam memasukkan bola basket kedalam ring. Sudah sekian kalinya Rosella mencoba, namun selalu saja meleset. Damian yang melihat itu menghampiri Rosella, dia berdiri dibelakang gadis itu, tubuhnya sedikit membungkuk menyamakan tingginya dengan gadis mungil itu.
Deru nafas hangat menyapu bagian belakang telinga milik Rosella, dia sedikit menoleh kebelakang. Tubuhnya mulai kaku ketika netranya melihat rahang tegas milik Damian, wajahnya mulai memanas dengan pipi yang bersemu merah.
"Gunakan pergelangan tangan untuk menembak." Ucap Damian dan segera menegakkan tubuhnya.
Rosella mengalihkan pandangannya dan mulai menembak bola sesuai instruksi Damian. Bola itu melambung dan berhasil memasuki ring. Rosella senang, netranya berbinar bahagia.
Damian mengangguk. Dia melangkah meninggalkan Rosella yang masih memperhatikan punggungnya.
"Terimakasih!" Ucap Rosella, tapi Damian tetap melangkah tanpa menoleh kebelakang.
_____________________________________
Bellyna terdiam ditempatnya, tangannya masih membawa tumpukan buku untuk di bawa ke kantor guru.
Bellyna tadi hanya tidak sengaja melihat salah satu momen manis antara pemeran utama. Hanya saja ketika Bellyna melihatnya bukannya merasa senang tapi justru terasa menyebalkan untuknya. Apa karena Bellyna berfikir dirinya harus mati demi kebahagiaan mereka berdua?
Bellyna menghela nafasnya, matanya beralih menatap sosok perempuan yang berdiri di sebrang lapangan olahraga. Bellyna dapat mengenali siapa perempuan itu, dia Agnes sang antagonis. Dapat di lihat dari kejauhan jika Agnes terlihat sangat marah dan juga kesal.
Siapa juga yang tidak kesal, ketika orang kamu suka sejak dulu tiba-tiba dekat dengan orang yang kamu benci!
Bellyna bisa memahami perasaan Agnes. Yah, mari kita berharap agar Agnes tidak terlalu kejam terhadap Rosella.
Mengalihkan pandangannya, Bellyna kembali berjalan menyusuri koridor sekolah tapi naasnya sebuah bola nyasar melaju cepat ke arahnya.
Bunyi dentuman yang cukup keras membuat Bellyna terjatuh dan mengeluh kesakitan. Rasa pusing menyerang kepalanya, matanya juga sempat berkunang-kunang. Bellyna menggelengkan kepalanya untuk mengurangi sensasi pusing, untung saja dirinya tidak mimisan atau pingsan seperti yang terjadi di novel-novel remaja.
Tangan Bellyna meraih buku-buku yang berserakan di lantai, telinganya menangkap suara derap kaki tergesa. Sepasang sepatu terlihat di depannya, Bellyna mendongak mendapati Damian yang berjongkok di depannya.
"Gak apa?" Tanya Damian sembari mengelus kepala Bellyna yang terkena bola.
Bellyna menjawab dengan linglung, "Ya, gak apa."
Damian menghela nafas, netranya yang berkilat tajam mengarah ke lapangan tepatnya tertuju pada seorang siswi yang saat ini tengah gemetaran.
Damian ikut membantu Bellyna dengan buku-buku itu sekaligus mengambil alih buku yang berada di tangan Bellyna.
"Gue antar!"
Bellyna yang masih linglung hanya mengangguk saja, sepertinya otaknya sedang tidak baik-baik saja akibat benturan itu atau karena perlakuan Damian kepadanya tadi?
Tanpa keduanya sadari empat pasang mata menatap kepergian mereka dengan emosi yang campur aduk, benci, iri, kesal, marah, sedih menjadi satu.
"Sialan!"
Tbc____

KAMU SEDANG MEMBACA
Bell (Edisi Hiatus)
Teen FictionBellyna tahu jika dunianya itu palsu. Sebuah dunia yang ditujukan para pembaca untuk mencari hiburan. Bellyna tahu jika dirinya hanyalah satu dari semiliaran figuran yang ada di dunianya. Berbicara dan bertindak sesuai dengan keinginan Sang Penulis...