He smells like orange and vanilla

17 3 1
                                    

5 tahun setelah Willhelmia memenangkan perang dengan Grissham.

Adam menanggalkan mantelnya di sofa yang hendak ia duduki. Awal januari terasa sangat dingin. Tidak banyak salju yang turun di Willhelmia, mereka masih bisa menapakkan kaki di rumput hijau.

"Weithia, kau ingat saat aku pertama kali aku bertemu denganmu? Aku duduk di bawah pohon itu." ucap Adam dengan suaranya yang lembut. Sambil menunjuk ke kejauhan. Di sebelah kiri mereka terbentang lahan hijau yang luas. Tempat biasa mereka berkuda. Rambut pirang Adam tersapu lembut oleh angin. Bibirnya tersenyum saat di tatap oleh pemuda di sampingnya. Mata mereka bertemu dan keduanya tertawa pelan.

"Waktu itu anda sedikit lebih pendek." Ucap Weithia sambal mengosokan tangannya agar sedikit lebih hangat.

Adam tertawa mendengar ejekan Weithia. "Kau tidak berubah, tetap menyebalkan seperti biasanya." Perlahan Weithia menyentuh tangan Adam, mengangkatnya naik dan menciumnya. Keduanya terdiam dalam lamunan.

Adam mengingatnya. Begitu juga Weithia.

Begitu jelas. Semua hal yang terjadi musim panas itu.

"Setelah waktu demi waktu berlalu, hari demi hari, tahun demi tahun. Apakah kau akan tetap di sampingku?" Adam menarik pelan tangannya. Suaranya lemah. Di tatapnya iris kelabu itu tanpa ragu. Weithia mengangguk dengan pasti, "Aku berjanji."

Adam puas dengan jawaban itu.

"Kau tahu, pavilion ini adalah tempat kesukaan orangtuaku dulu. Mereka duduk dan berbincang seperti kita ini sepanjang sore. Hanya berdua, begitu romantis." Adam meneguk teh chamomile yang beruap karena udara dingin.

Tatapannya tidaklepas dari Sang Ksatria. 

"Dulu aku biasa bermain air di pinggir danau itu. Airnya sangat jernih dan dingin."

Weithia menatap ke sekeliling danau yang mengitari pavilion putih yang anggun ini. "Apa dahulu bunga teratainya juga seindah sekarang?" ada beberapa bunga teratai putih yang terlihat masih mekar. Namun rasanya perlahan juga akan layu dan membeku.

"Ya, dahulu merekalebih banyak, hampir menutupi seluruh permukaan danau. Banyak ikan kecil yangberenang diantaranya." Adam menghela nafas. "Semua ingatan itu sudah lamasekali." 

Rambut Ksatria itu harum seperti wangi jeruk dan vanila. 

"Kau terlihat tampan seperti biasanya, Weithia."

Pemuda itu tersenyum, mengalihkan pandangannya. Namun mendadak tatapannya berganti, seiring semilir angin dingin berhembus. 

"Apa yang hinggap menghampirimu, Weithia? Apakah permasalahan kemarin lalu masih memakan pikiranmu?"

Sang Ksatria tidak ingin mengusik sore damai kekasihnya. Namun menyembunyikan sesuatu dari Raja adalah hal yang sia-sia. Adam mendekatkan dirinya pada Weithia, begitu dekat hingga semua wangi itu tercium jelas. "Habiskanlah malam ini bersamaku."

Weithia terdiam sejenak,  "Yang mulia, aku tidak ingin kau dibenci karenaku. Karena mencintai pria sepertiku, aku tidak pantas dan tidak berhak untuk menjadi kekasihmu."

"Banyak orang yang menentang hubungan kita. Bagaimana kau bisa meneruskan Kerajaan ini jika tidak punya penerus. Tidak punya pewaris tahkta. Tidak punya seorang Ratu. Aku hanya akan membuatmu malu dan menghina Kerajaan ini." Suaranya serak.

Adam menghela nafas pelan, "Aku mencintaimu. Kau adalah mimpiku yang terwujud ke dunia."

Kedua mata mereka bertukar tatap. 

"Tapi aku akan menjadi raja di Kerajaan ini hingga tua nanti. Hingga rambutku memutih dan ajal menjemputku. Urusan pewaris tahta, kita lihat saja nanti. Dan aku tidak perduli jika seluruh rakyat willhelmia membenciku. Mereka harusnya bisa menghargai keputusanku. Jika aku menuruti kemauan mereka, ini bukan hidupku lagi."

"Aku telah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga rakyatku. Tidak ada kemiskinan, tidak ada kesengsaraan. Kerajaan Willhelmia terkenal akan kemakmurannya. Aku mencintai rakyatku sama seperti mencintai diriku sendiri. Tidak bisakah mereka menerima sedikit saja jati diriku?"

Adam membelai lembut kepala Weithia, "Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja Weithia."

"Mendapatkan penerimaan di masyarakat memang sulit, apalagi jika seorang lelaki mencintai lelaki. Ingat tahun lalu saat kau ditangkap oleh pihak gereja dan hendak digantung? Aku sangat marah kala itu. Walaupun aku seorang Raja, tapi aku bisa apa? Otoritas agama memegang tampuk penting dalam kehidupan masyarakat Willhelmia. Aku tidak bisa seenaknya mengurung mereka. Hanya karena keegoisan cintaku."

"Sekarang, apapun yang terjadi ke depannya. Kita akan menghadapinya berdua. Menyelesaikan setiap penolakan berdua. Menghadapi ribuan masalah berdua. Jika kita tidak bisa bersama di dunia, aku yakin suatu tempat yang jauh akan menerima kita."

Weithia tersenyum, "Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi." 

Di awal musim dingin – bulan Desember. Seekor kuda berlari kencang di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi. Hutan yang diselimuti salju tebal, sulit bagi seseorang untuk bisa keluar dari hutan itu hidup-hidup tanpa tersesat. Semua terlihat sama, putih sejauh mata memandang. Kuda coklat itu memacu menembus angin malam yang dingin, menusuk hingga tulang. Seorang pemuda yang menunggangi seekor kuda terlihat begitu ketakutan, kilatan matanya menandakan dirinya dalam bahaya. Keringat bercucuran dari dahinya ditengah musim dingin.

"Cepat tangkap bocah itu!"

Di belakangnya terdapat 3 orang berkuda – mengejar dirinya membabi-buta. Menjelma seperti monster yang ingin memakan mangsanya dengan brutal.

"Jangan sampai lepas!"

Pemuda itu berusaha secepat mungkin melarikan diri dari orang yang mengejarnya. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin. Ia menengok ke belakang dan terkejut ketika orang asing itu membawa sebilah pedang di tangan mereka. Membuat ia semakin ketakutan dan tidak terfokus pada jalanan setapak kecil yang dia lalui. Akar akar panjang pohon, merambat luas hingga keluar dari tanah. Tiba tiba kuda yang ia tunggangi tersandung dan terjerumus jatuh. Pemuda itu terlempar dan membenturkan kepalanya pada pohon.

Kepalanya terasa begitu sakit, perlahan pandangannya buram. Dalam sekejap kesadarannya hilang.

Ketiga orang asing yang mengejarnya tadi akhirnya turun dan menghampiri seorang pemuda yang sudah tergeletak tidak berdaya. Salju berjatuhan ke wajahnya. Kulitnya seputih susu yang sangat menyatu dengan putihnya salju. Mereka menyeringai jahat, dan melihat satu sama lain dengan tatapan puas.

"Kita akan dapat uang banyak. Dia akan berharga mahal sekali."

Tawa mereka terdengar menggema di hutan musim dingin. Mulai mengikat tangan dan kaki mangsanya yang tidak berdaya dengan tambang. Tak lama kuda mereka mulai meninggalkan area hutan.

KNEEL BEFORE THE CROWN BOOK 2 : ATONEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang