03 "Ingatan Pertama"

248 11 0
                                    

Akhir September, 2013

“Kau selalu seperti itu!”

“Kau yang tidak pernah di rumah selama ini!!”

“Kau yang pergi bersama pria itu!”

“Kau sudah gila ya!!!”

“Lebih baik kita bercerai!!”

Aku mendorong kuat pintu kamarku. Berlari sekuat tenaga dengan air mata yang menderas. Aku benci setiap kali mendengar keributan itu. Tapi kalimat terakhir mama adalah yang paling kubenci. Paling kutakuti.

….

“Kamu kena ....”

Aku tidak membiarkan Rigo menyelesaikan kalimatnya. Kubenamkan wajahku yang memerah dalam dada bidangnya.

“Ada apa?” tanyanya lagi, mengelus kepalaku berkali-kali.

Rasa sakit itu menahanku untuk beranjak. Air mataku mulai membasahi kaos hitam Rigo. Ini pertama kali aku dalam pelukannya setelah satu bulan menjalin hubungan. Dan untuk saat ini saja, aku ingin terus di sana. Membiarkan waktu berhenti jika bisa.

Ia mengangkat wajahku dan menatap kebingungan.

“Ada apa?”

“Mama dan papa. Me...mereka akan bercerai.”

Tangisanku pecah. Tatapan dalam Rigo membuatku semakin rapuh. Ia kembali memelukku. Kali ini lebih erat.

“Sudah-sudah.”

Lalu semua perlahan membaik.

….

Rigo membawaku menerpa angin sore kota Jakarta dengan motornya. Entah dibawa kemana. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bersamanya.

Sepuluh menit berlalu hingga air mataku mengering. Motor Rigo berhenti di pinggir pantai yang cukup sepi.

Ia menggandeng tanganku dan menuntun menuju bibir pantai. Lalu membentangkan jaketnya di pasir
dan memintaku duduk di atasnya.

Kami terdiam, menatap senja di depan mata. Cukup lama.

“Sudah lebih baik?”

“Uum.”

“Terima kasih.”

“Iya.”

Ia mengelus kepalaku yang bersandar di pundaknya. Dan aku memandang seksama matahari yang mulai menghilang. Mempertanyakan keadaanku selanjutnya. Kemana aku akan pergi jika Rigo tidak ada? Atau bagaimana aku bisa menahan rasa sakit lagi tanpa Rigo?

“Berjanjilah.”

“Janji apa?"

“Untuk tidak pernah pergi.”

“Aku berjanji.”

Aku tersenyum lapang. Bahkan tak ada tarikan napas dari Rigo untuk berpikir lebih dulu. Ikrarnya terucap dengan yakin.

Sekarang aku benar-benar takut jika ia menghilang.

***

Akhir Oktober, 2013

“Selamat ulang tahun!”

Teriakan Rigo memenuhi cafe bergaya western modern itu.

Kualihkan pandangan ke arahnya, ia berjalan hati-hati mebawa kue ulang tahun berdasar merah muda dengan angka 17 bertengger di atasnya.

Kualihkan pandangan ke arahnya, ia berjalan hati-hati mebawa kue ulang tahun berdasar merah muda dengan angka 17 bertengger di atasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku tersenyum lebar dan mata berkaca-kaca. Setelah dua bulan bersama, aku melihat sisi romantisnya hari ini. Hal paling langka dari seorang Rigo.

“Make a wish,” ucapnya setelah benar-benar berdiri di depanku.

Aku menutup mata sejenak. Memanjatkan beberapa permohan pada Pencipta. Kemudian meniup lilin.

Yeay!” teriaknya bersemangat.

“Makasih, ya.”

“Sepertinya kamu sudah terlalu sering berterima kasih,” guraunya.

“Aku akan berterima kasih sepanjang hidupku jika perlu.”

“Sepertinya aku pernah mendengar kalimat itu.”

Aku tertawa kecil. Aku mengutip kalimat itu dari novel kesukaannya. Tapi itu tulus. Rigo membuatku selalu ingin berterima kasih pada semesta.

“Kamu tahu, aku sangaaat bahagia. Mama dan papa tidak jadi bercerai, dan …,”

“…ada kamu, di sini.”

“Kalau begitu, terima kasih juga.”

“Untuk apa?”

“Untuk benar-benar bahagia kali ini.”

Aku tersenyum dengan hembusan napas kuat. Entah bagaimana Rigo mengenal kepribadianku di perbincangan pertama kami. Ia bisa mengerti aku dengan sangat cepat. Itu alasanku begitu mencintainya. Dan aku  ingin terus begitu.

***

Seharusnya Tidak Kulepas (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang