PROLOG

84K 2.9K 45
                                    

PROLOG

Aku melangkah enggan menuju kantor atasanku. Meriang seluruh tubuhku mengingat apa yang akan kuhadapi. Aku menarik napas dalam-dalam, beban berat serasa menggunung di dadaku. Kuketuk pintu kantor Ravi dengan perasaan campur aduk.

Setelah mendengar sahutan, aku masuk dengan langkah lambat. Keringat dingin mulai menghiasi wajahku. Dapat kurasakan kaki dan tanganku berubah dingin, seakan darah berhenti mengalir dalam tubuhku.

"Duduk," perintah Ravi.

Ekspresinya yang dingin membuat tubuhku semakin dingin. Tak sanggup rasanya menghadapi masalah seperti ini. Tidak menunggu lama, aku pun duduk. Aku yakin kakiku sudah tak kuat menyangga berat tubuhku. Asli, aku lemas sekali.

"Kamu tahu kesalahan apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Ravi tanpa basa-basi. Ia menatap dalam-dalam wajahku.

"Tahu, Pak," jawabku pelan. Aku berusaha menatap wajahnya. Jantungku berdetak kencang. Tak tahu pasti penyebabnya, karena wajah tampannyakah? Atau karena aku tahu, sebentar lagi, aku akan diadili karena kesalahanku.

"Bagaimana pertanggung-jawabanmu?" datar ia bertanya.

Beberapa faktur penjualan yang ku-input kemarin disodorkan padaku. Aku terhenyak. Gara-gara lupa merubah kenaikan harga parfum-parfum itu, perusahaan tempatku bekerja harus rugi seratus jutaan. Sekarang parfum-parfum itu sudah disupplai ke outlet-outlet, dan masih dengan harga lama! Benar-benar kesalahan yang sangat fatal!

"Kamu baru bekerja disini dua bulan, dan kamu sudah merugikan perusahaan sedemikian banyak." Katanya dingin menusuk. "Bagaimana kamu menggantikannya?"

"Sa.., saya..," terbata aku menjawab. Jujur aku juga tidak tahu kemana aku harus mencari uang seratus jutaan itu untuk mengganti kerugian perusahaan. Mungkin bekerja sepuluh tahun lagi pun, aku takkan bisa melunasinya.

"Hmm..??" Pak Ravi mengernyit kening, menunggu jawabanku.

"Saya akan mencoba mencari pinjaman Pak," kataku pelan. Kepada siapa aku harus meminjam uang sebanyak itu?

"Sebanyak itu? Kamu yakin?" tanyanya tak percaya.

Aku menarik napas panjang. "Saya tidak punya pilihan Pak," aku menundukkan kepalaku. Ruangan kantor yang didekor dengan gaya minimalis, tetap tidak bisa membuatku nyaman, aku merasa terhimpit disini, terhimpit oleh masalah yang baru saja kuciptakan dengan sempurna.

Dua bulan yang lalu, aku mengirimkan CV lamaran kerjaku ke sini, perusahaan perfum merk-merk terkenal. Sungguh aku beruntung, aku terpilih untuk mengisi lowongan marketing, dan mendepak puluhan orang lain yang mengincar posisi yang sama.

"Baik, saya beri kamu waktu tiga bulan untuk melunasinya."

"Cu-cuma tiga bulan Pak?" tanyaku tak percaya. Kemana aku harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu tiga bulan? Sungguh mustahil.

"Ya, ada masalah?" tanyanya pura-pura bodoh.

"Ke mana saya dapatkan uang sebanyak itu, dalam waktu sesinggkat itu pak? tolong beri saya waktu." Pintaku memelas. Aku pesimis.

"Loh, tadi katanya mau nyari pinjaman?" tanyanya masih dengan senyum simpul.

Aku jadi merasa seperti diledeki olehnya. Tentu saja Ravi tahu, aku pasti tidak mungkin melunasinya dalam waktu sesingkat itu. Aku membisu.

"Aku punya pilihan lain untukmu, jika kamu bersedia."

Aku mendongak, menatap wajahnya. Baru kusadari, bosku ini memiliki mata indah berwarna cokelat. Potongan rambut undercut ala aktor Hollywood, menambah nilai plus di wajah tampannya.

"Gimana, Raisa?" tanyanya dengan mimik serius, senyum tipis masih tersisa di bibirnya.

Aku tersentak "Ah iya, apa itu, Pak?" tanyaku antusias. Beban berat sedikit terangkat dari bahuku. Semoga saja masalah ini cepat selesai.

"Menikah denganku, dan semua hutangmu kuanggap lunas." Katanya pelan.

Suaranya yang pelan masih bisa kudengar dengan jelas. "Apa??" tanyaku tak percaya.

"Bukankah kamu sudah mendengarnya dengan sangat jelas?" bisiknya lembut, wajahnya sedikit maju ke depan, mendekat ke wajahku. napasnya terasa hangat membelai pipiku. Aku menahan napas.Seluruh tubuhku makin terasa panas dingin. Rasanya tiba-tiba demam tinggi menyerangku.

"Saya tidak bisa Pak," aku menjawab pelan. Tidak mungkin aku mempertaruhkan masa depanku hanya karena ingin membayar hutang padanya.

"Kenapa?" tanya seperti kecewa."Kamu sudah punya pacar?"

Aku menggeleng.

"Terus?"

"Saya belum siap, Pak. Tidak ada pilihan lain Pak?" aku bertanya dengan penuh harap. Umurku barumenginjak dua puluh tiga tahun, tidak mungkin aku mau menikah semuda inikan?

Senyum simpul kembali menghiasi wajah Pak Ravi. "Kenapa takut menikah denganku, Raisa?" tanyanya dengan sangat lembut, Atau sedikit mesra? "Aku akan menjadi suami yang baik untukmu, dan ayah yang penyanyang untuk anak-anak kita." Bisiknya pelan.

Aku merinding. Jantungku berdetak kencang. Benarkah? Atau jangan-jangan barusan Ravi salah minum obat, makanya berubah jadi aneh.Mengajakku menikah tanpa pernah berpacaran denganku rasanya ide yang sangat gila.

Sekali lagi aku menggeleng.

***

 bersambung..

hai all....

iseng-iseng pos cerita lama versi revisi..

happy reading ya...

vote n komen ya say... thanks

Caramu Mencintaiku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang