PART 2

55.4K 2.4K 66
                                    

PART 2

Tepat pukul sembilan malam, Mobil Ravi berhenti tepat di depan rumah orangtuaku. Aku juga tidak tahu, dari mana ia tahu alamatku. Mungkin dari data karyawati. Aku mengucapkan terimakasih, dan keluar dari mobilnya.

Aku yang sedang membuka pintu pagar, dikejutkan dengan kehadiran Ravi di sampingku.

"Loh? Bapak ngapain?" tanyaku dengan nada tak suka. Aku tak ingin ia bertemu orangtuaku. Jangan sampai keluargaku berpikir aku berpacaran dengannya.

"Kan nganterin kamu, harus pastikan kamu masuk ke rumah dengan selamat." jawabnya santai.

Aku memelototinya. "Tak perlu!" jawabku. Dengan cepat aku melangkah masuk. Dia mengikutiku dari belakang. Aku berhenti. Semakin besar mataku memelototinya. Tapi dia hanya nyegir, pasang muka polos.

Pintu rumah terbuka, terlihat Mama menyambutku. Terlambat sudah, wajah Mama semringah demi melihat Ravi bersamaku. Kulihat Ravi tersenyum sangat manis pada Mama. Ia berjalan mendahuluiku, memberi salam, menjabat dan mencium tangan Mama. Bukan main, gayanya seperti calon menantu pilihan.

Aku mendesah dalam hati. Ravi dan Mama sudahpun masuk ke dalam rumah.

"Papa kemana Mana?" aku bertanya, celingak-celinguk aku mencari sosok Papa.

"Papamu jalan sama Andry."

"Andry kesini Ma?" tanyaku antusias.

"Iya, katanya sudah janjian mau ketemuan sama kamu, eh kamunya kok pulangnya malem banget, Raisa?"tanya Mama heran. Memang tidak biasanya aku pulang malam.

"Eh iya, Raisa ada kerjaan tadi di kantor Ma." bohongku.

Ku lirik Ravi. Rahangnya terlihat mengeras. Entah apa lagi yang membuatnya tidak suka.

"Jadi Andry sama Papi kemana Ma?"

Belum sempat pertanyaanku dijawab oleh Mama, Ravi menyela "Tante sudah makan?"

Pertanyaaan Ravi membuat obrolan kami terputus. Kulihat Mamatersenyum lebar.

"Sudah. Ah adik ini namanya siapa?"

"Panggil saya Ravi, Tante," Ravi tersenyum. "Raisa tidak pernah cerita tentang saya, Tante?" Ravi melirikku dengan nakal.

Aku melotot ke arahnya. Apa juga yang mau diceritakan. Secara hubungan kami cuma atasan dan bawahan.

Senyum Mama semakin lebar. Teh manis dihidangkan untuk Ravi.

"Ma, Raisa istrahat dulu ya." Dengan cuek aku beranjak meninggalkan Ravi. Biar saja dia, siapa suruh membuatku kesal.

"Enggak nemenin Ravi?" tanya Mama.

"Biar aja Ma, Raisa belum mandi nih." Tanpa melirik Ravi, aku berjalan menuju kamarku. Hari ini rasanya capek sekali. Bukannya capek kerja, capek hadapi kelakuan Ravi yang aneh. Kirain tadi ngajak aku lembur, tahu-tahunya aku malah di ajak makan di restoran seafood.

Sambil mandi, pikiranku melayang memikirkan hutangku pada Ravi. Ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu?

Selesai mandi, aku langsung rebahan di atas ranjang. Tubuh yang capek, membuat mataku mulai meredup. Kupejam mataku. Ku singkarkan jauh-jauh pikiran tentang hutang itu...

***

Aku merapikan rambut panjangku, memoles sedikit lipstik dibibir mungilku. Setelah merasa riasan wajahku sempurna, aku memencet tombol on pada laptop kantor. Ina, admin bagian laporan mendatangiku.

"Raisa, dicari Bos tuh." Bisiknya pelan.

Aku mengernyit dahi. Ada apa Ravi pagi-pagi sekali mencariku? Kulirik arloji di pergelangan tangan kiriku, baru pukul delapan lewat dua puluh menit, itu artinya aku telat masuk kantor cuma dua puluh menit. Sekali sekala, rasanya tidak apa-apakan?Palingan juga jatah uang makannya hangus.

"Bos lagi marah-marah tuh," tambah Ina.

Kernyitan di dahiku semakin dalam. Ada apa gerangan?

Telepondi mejaku berdering, Ina segera beranjak dari hadapanku.

"Iya Pak?"

"Ke ruanganku sekarang!"

Panggilan diputus tanpa sempat aku menjawab. Keras suara Ravi terdengar. Dengan perasaan bertanya-tanya aku menuju ruangannya. Kuketuk pintu, setelah terdengar sahutan, aku melangkah masuk.

Wajah Ravi terlihat merah padam, rahangnya mengeras, seperti sedang menahan amarah.

"Tau jam berapa sekarang?" tanyanya ketus.

Erg? Selama ini Ravi hampir tidak pernah bicara seketus ini. "Maaf Pak, saya terlambat." Aku mengalah, ya memang salahku datang telat.

"Kamu umur berapa?" tanyanya tiba-tiba.

"Dua puluh tiga. Kenapa, Pak?" aku bingung dengan pertanyaannya yang menurutku tak ada hubungan dengan keterlambatanku.

"Baru umur dua puluh tiga, dan kamu sudah punya penyakit pikun!" balas Ravi pedas.

"Maksud Bapak??"

"Kamu lupa benaran atau pura-pura? Tadi, aku ke rumahmu, dan kamu, pagi-pagi sudah jalan dengan lelaki gak jelas!" keras suara Ravi memarahiku.

Aduh! Aku benar-benar lupa. Gara-gara Andry pagi-pagi sudah datang ke rumah menjemput, aku tidak ingat sama sekali pada Ravi.

Ravi mengitari meja, badannya membungkuk ke arahku. Sebelah tangannya bertopang di meja, dan sebelah lagi di sandaran kursiku. Jarak kami begitu dekat. Dadaku berdebar-debar. Pagi-pagi jantungku sudah mulai olahraga.

"Pak," terbata suaraku. Aku tak pernah sedekat ini dengan laki-laki manapun.

Dapat kurasakan napas Ravi yang hangat membelai wajahku. Pipiku memanas.

"Jangan ulangi lagi," bisiknya di telingaku. "atau kamu akan tau akibatnya." Ancamnya.

***



 bersambung....

vote n komen please.. thanks

Caramu Mencintaiku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang