I AM MUSLIMAH
#1
First Impression
Pesepak bola itu menebar senyum ke bangku penonton. Semua tampak histeris, terutama barisan para wanita. Satu hal terlintas di benakku, 'dasar cowok'. Meski nyatanya aku juga ikut mesem dan naasnya aku tak tahu pasti wanita mana yang ia beri senyuman. Pastinya bukan aku. Hiks. Untung saja ada sehelai kain yang menutup sebagian wajahku, sebagai alibi bahwa diriku tak termakan pesonanya.
Aku tak suka bola. Olahraga? Tak begitu tertarik. Jujur. Hanya karena dia, aku melangkahkan kaki ke dalam stadion ini.
Kali pertama kujejakkan kaki di negeri Paman Sam dan sesaat setelah mendengar jadwal tandingnya, aku langsung meluncur ke TKP tanpa pikir panjang. Tampak banyak orang yang mencoba menerkamku dengan tatapan mereka, tapi tak pernah kuhiraukan. Islamophobia, sudah bukan bukan hal yang baru.
Aku sengaja mengambil posisi penonton yang paling belakang. Setidaknya untuk mengurangi kemungkinan diriku menjadi sorotan banyak orang. Muslimah yang memakai niqab memang sudah menjamur, tetapi lagi-lagi islamophobia selalu tak bisa dihindarkan. Aku sudah tahu konsekuensinya dan memilih bodo amat.
Selama pertandingan berlangsung sesekali aku mencuri pandang pada pemain bernomor punggung sembilan. Meski kecil kemungkinan dia menangkap tatapanku, tetap saja hatiku berdegup kencang tatkala ia asik 'menyetir' bola di tengah lapangan.
Jarak segini aja udah dag dig dug ser, apalagi di pelaminan nanti?! Pikiranku lagi-lagi melayang tak karuan. Astaghfirullah! Dari jaman bahula bahkan sampai sudah hijrah, tetap saja yang namanya jatuh hati selalu membuat mabuk kepayang.
Pertandingan telah usai. Selama dua kali empat puluh lima menit, dia menyuguhkan performa yang luar biasa. Mungkinkah spirit Alquran yang ia bawa di arena lapangan hingga menjadikannya player of the year? Mungkin saja. Pikiranku terus melayang sampai tak sadar bangku penonton mulai sepi.
Aku beranjak dari bangku namun terduduk lagi, sesaat setelah kutahu dia dan pemain lain menghampiri bangku penonton. Mungkin memang tak ada niatan untuk menghampiriku, tapi tetap saja hal itu membuatku beku di tempat. Kutundukkan kepala seolah-olah sibuk memainkan smartphone.
Aku tersentak karena seorang pria tak dikenal menepuk pundakku. Sontak aku langsung pindah tempat duduk atas ketidaksopanan itu. Tampak seorang pria berwajah asia tersenyum padaku dan menyodorkan segelas minuman boba.
"Halal," ucapnya, berusaha meyakinkanku.
Aku tak suka dengan orang asing yang sok akrab. Self-awareness-ku cukup tajam hingga membuatku tak mudah percaya pada orang lain. Apalagi aku hidup di negeri orang sendiri. Butuh beberapa waktu untukku merespon sikapnya. Tetapi dia memaksaku untuk menerimanya. Akhirnya kuterima meski tak ada niatan untuk mencicipinya sedikitpun. Kuletakkan begitu saja di bangku sebelah.
"Kata ibuku wanita bertudung itu baik. Apalagi yang memakai penutup wajah sepertimu," tanpa basa-basi dia langsung duduk, meski perlu kuakui dia tetap menghormatiku dengan membuat jarak satu bangku di antara kami. Tetap saja, perlakuannya di awal memberiku kesan yang kurang apik.
Aku hanya mengangguk dan berkata 'hehe'. Tak lama ponselku berdering. Panggilan dari Ummi.
"Assalamu'alaikum, Mi, pripun kabar njenengan? Alhamdulillah kula teng mriki sae-sae mawon [Assalamu'alaikum, Mi, bagaimana kabarnya? Alhamdulillah saya baik-baik saja di sini]," aku berucap spontan pada sambungan nirkabel tersebut.
Santai saja kujawab panggilan itu di tempat umum. Toh tidak ada yang tahu isi pembicaraan kami.
Panggilan berakhir. Kudapati pria asing itu masih di tempat. Termangu. Dia memandangku lekat. Hal ini yang paling tak kusenangi dari pria, walau aku sudah berusaha menundukkan pandanganku.
"Samean wong Jowo?! [Kamu orang Jawa?!]"
Aku tersentak. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Pria bermata sipit ini berbicara bahasa Jawa?! Tidak, tidak, lebih tepatnya dia berbahasa Jawa medhok!
"Tenan?! [Beneran?!] Sumpah, keren, keren," ucapnya masih sama-sama tak percaya, "ketemu wong Jowo neng Amerika, rek. [ketemu orang Jawa di Amerika, gaes!]"
Risih aku dengan sikap sok akrbanya. Bayangkan saja bertemu orang se-SKSD itu. Aku membenahkan pakaianku, beranjak pergi, "sorry, Sir. I think you are too easy to someone you even don't know yet. You should be aware! I've to go now."
Segera kulangkahkan kaki meninggalkan bangku penonton. Tak suka dengan sikapnya. Seketika bagian belakang khimarku ditarik. Sungguh tak sopan!
"E-eh. Sek toh. Ojo sok keminggris kuwi! [Eh, sebentar, jangan sok pakai bahasa inggris gitu!]"
HEY!
Aku spontan berteriak. Beberapa pasang mata tertuju pada kami. Untungnya ada seorang dari mereka yang melepas tangan pria asing itu. Dia berkata dengan aksen lokalnya yang kental, "Jangan bersikap tak sopan padanya."
Aku tak berani menatap pria tersebut, karena aku sudah mengenalinya bahkan hanya dari suara beratnya. Tanpa membuang waktu aku berterimakasih dan langsung ngeluyur pergi. Sayup-sayup terdengar dia menanyakan keadaanku namun aku terlanjur nyelonong pulang. Sekali aku menoleh padanya.
Benar dugaanku.
Si Nomor Sembilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM MUSLIMAH
Teen FictionFatimah Asy-Syarifah, seorang muslimah bercadar yang memiliki impian menjadi penulis kelas dunia. Keputusannya pindah ke Amerika tidak sekedar untuk mengadu nasib di negeri orang, melainkan juga untuk mengejar pujaan hatinya sejak tahun 2015 silam...