01. (Just) Die

566 67 24
                                    

Malam tanpa bulan tidak lagi mencekam. Ratusan bintang yang berkelip di antara awan hitam juga tidak lagi terasa sunyi. Pun, angin malam di musim panas tidak lagi terasa dingin menusuk tulang.

Malam itu di tengah alun-alun kota, ratusan warga berkumpul dengan membawa obor di tangan mereka. Mulut mereka riuh berbisik. Tangan mereka bergetar gatal, seakan tidak sabar untuk melempar batu-batu kerikil di genggaman tangan. Dingin malam musim panas menjadi sepanas siang hari. Semakin panas dengan suasana hati warga kota yang dipenuhi amarah.

"Cepat bawa penyihirnya kemari!" teriak salah seorang pria paruh baya. Wajahnya terlihat seram, giginya juga bergemeletuk menahan kesal.

"Tsk! Rasanya sudah tidak sabar untuk melempar batu-batu ini." Pemuda lain mengumpat sembari berdecih.

Tidak sampai disitu, makian dan umpatan terus terlontar dari mulut warga. Dewasa, orangtua, hingga anak-anak dari lapisan rakyat biasa turut melontarkan kalimat-kalimat kebencian. Sedang dari golongan bangsawan, beberapa pemuda turut hadir di gedung lantai atas dekat alun-alun kota. Mereka tertarik untuk menyaksikan sendiri bagaimana seorang Duke kebanggaan Raja menghukum pelaku kejahatan. Terlebih penjahat itu adalah keluarga satu-satunya.

Objek yang menjadi atensi warga kota adalah gadis dengan surai pirang yang tengah diseret oleh seorang prajurit yang memegang tombak. Gadis itu berjalan terseok. Langkahnya lambat. Pergelangan kaki kanannya terlihat patah. Bercak darah kering juga tergambar penuh di gaun putih lusuh yang dikenakannya. Gadis itu menunduk dalam. Rambut berantakan yang menutup hingga bawah mata, menyembunyikan ekpresi menyedihkan di wajahnya. Tubuh gadis itu gemetar ketakutan.

"Lihat! Penyihir ada disana." Seorang perempuan remaja dengan pakaian lusuhnya berteriak keras. Matanya melotot lebar dan tangannya menunjuk ke tempat gadis bersurai pirang berjalan.

"Lempar batunya!" teriak lantang seorang pemuda bercambang tipis pada warga kota.

Tidak lama kemudian, warga pun bersorak ramai. Berbagai makian mereka lontarkan pada gadis itu bersamaan dengan lemparan batu. Batu-batu yang mereka lemparkan memang kecil, tetapi bahkan terasa lebih menyakitkan dari sebongkah batu besar yang dapat memecahkan kepala ketika batu-batu itu menghujam tubuh si gadis. Tubuh kurus kering yang dipenuhi luka semakin terasa sakit.

"Kau pantas mati! Dasar pejahat!"

Gadis dengan surai pirang itu semakin menundukkan kepala. Dari pelupuk mata, air kembali mengalir deras. Gadis itu mengangkat kedua tangannya untuk menutup telinga dengan erat. Berharap telinganya tidak dapat mendengar cacian dari warga–yang padahal terdengar begitu jelas. Gadis itu terisak kuat sembari menggelengkan kepalanya. Tubuh kurusnya kesakitan karena batu-batu tajam yang dilempar warga.

"J-jangan ...."

Gadis itu hanya merintih lemah dengan bibir pucatnya. Langkahnya semakin melambat. Rasa sakit dari kerikil tajam yang mengenai tulang kering bahkan tersamarkan oleh banyaknya batu yang menghujam seluruh tubuh. Gadis itu tidak berdaya. Berkali-kali langkahnya terhenti dan ia terjatuh di tengah jalan.

"Jalan!"

Prajurit yang bertugas membawa gadis itu ke tengah lapang memberi gertakan. Ia menarik rantai di genggaman tangannya yang terhubung ke kalung besi di leher si gadis. Prajurit itu menariknya dengan kasar. Mau tidak mau, gadis itu kembali melangkahkan kaki karena tarikan di lehernya semakin kuat.

Masih dengan iringan cacian warga, gadis itu tiba di atas mimbar yang terletak di tengah lapang. Mimbar kayu itu tidak tinggi, tetapi sedikit lebar karena terdapat benda kayu besar di atasnya. Itu adalah benda persegi panjang dengan tiang kokoh di sisi kanan dan kiri. Sedang di atasnya, terdapat pisau raksasa yang digantung dengan tali tambang.

"Lakukan!"

Gadis itu menoleh ke belakang. Mata cokelat mudanya menatap pria berzirah biru yang baru saja berteriak memberi perintah. Pupil mata gadis itu bergetar, air yang mengalir dari pelupuknya semakin deras.

"A-ayah, kumohon ...." lirih gadis itu dengan bibir gemetarnya. Wajah memelasnya ia tunjukkan pada pria tadi, berharap orang yang dipanggil dapat membebaskan dirinya dari keadaan menyedihkan itu.

Mengabaikan ratapan si gadis, tanpa iba prajurit kembali menyeretnya. Ia menarik gadis itu untuk mendekat ke benda kayu besar di atas mimbar. Lingkaran besi di lehernya dilepas. Rantai besi yang menghubungkan kedua kakinya juga dibuka. Setelahnya, prajurit itu memukul betis si gadis agar ia dapat berlutut di atas mimbar.

Gadis itu berlutut tepat di depan papan kayu yang bagian tengahnya dibuat cekung. Prajurit yang sejak tadi mengawalnya, kemudian menarik rambut si gadis dengan kuat. Pria itu menarik kepala si gadis dan memposisikan lehernya tepat di cekungan papan.

Tubuh gadis itu gemetar. Isak tangisnya pun semakin keras. Orang-orang yang mengolok di depannya juga tanpa henti melempar makian. Tubuhnya semakin melemah. Sekali lagi, ia merasa tidak berdaya. Hal yang dapat ia lakukan hanyalah memejamkan mata dan berdoa pada Dewa. Ia berharap agar Dewa segera mengangkat penderitaannya.

Clash!

Tambang penahan dilepas, pisau besar yang digantung dengan tambang meluncur bebas melintasi cekungan kayu, tepat di leher gadis itu. Dalam sekejap, mata pisau tajamnya berhasil memisahkan kepala dari si pemilik tubuh.

Riuh makian warga tergantikan oleh sorak-sorak kepuasan. Gadis bersurai pirang yang mereka benci telah tiada. Gadis malang yang bahkan mendapat dakwa atas tuduhan tanpa fakta.

.
.
Haiii, saying welcome to explore my story!✨

Satu kata untuk bab pertama?

Engga dark, yekan?😗

Rebirth of Incompetent Daughter [TERBIT✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang