Prologue.

15 2 0
                                    

-DEFEAT SILENTLY -

...

"Apa kau sungguh akan pergi?" Tanya Maria, pada sahabat karib nya, Nuero.
"Aku masih tetap dikota ini."

Pria berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu, memutuskan untuk mengambil cuti dengan alasan urusan keluarga.

"Maksudku, apa kau sungguh akan meninggalkan pekerjaanmu?" Tanya Maria lagi, membenarkan ucapannya.

Padahal, beberapa hari lalu Nuero mengaku pada Maria bahwa ia telah bosan dan jenuh mengajar. sungguh pekerjaan yang membosankan menjadi guru terlebih di jurusan sosiologi, begitu pengakuannya.

"Seperti yang kau tau, Maria."

"Tapi apa kau tak memikirkan nasib para muridmu? bahkan dirimu sendiri?"

"Untuk apa aku mengkhawatirkan itu, aku bahkan lebih senang berada diluar sini." Balas Nuero seolah acuh.

"Tapi, apa kau sisa punya uang untuk bertahan hidup?"

"Ibuku pemilik toko pastry, aku akan meminta uang padanya, menumpang hidup untuk beberapa saat tidak masalah bukan?" Ucap Nuero dengan kedua alis terangkat.

"Lagi pula, ini kota besar dan maju, tak akan sulit bagimu hanya untuk mendapat sesuap makanan." Lanjutnya.

Maria menghela napas berat, ia tau Nuero memang bodoh, pemikirannya dangkal dan selalu menganggap semua hal adalah sepele dan tidak perlu dibuat rumit.

Dan dengan keajaiban semesta, dirinya malah menjadi guru disekolah ternama, lalu menjadi sahabatnya sampai kini.

"Paling sebentar lagi, sekolah akan menemukan guru pengganti."

"Hm, kau benar, kepala sekolah Stephen throww sudah menyebar selembaran untuk mencari guru pengganti di beberapa tempat."

"Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dibuat susah, just make it simple. bahkan kalimat itu berlaku untuk kepala sekolah Stephen throww yang manipulatif itu kan?"

Maria terkekeh pelan, "Kau memang tak pernah berubah, Nue."

Semenjak kejadian bodoh itu. dimana Nuero tak sengaja menuangkan kopi dari atas rooftops karena kopinya terlalu manis dan sudah dingin, dan itu, tumpah di atas kepala Maria. bukannya meminta maaf, Nuero malah menatap Maria dari atas rooftops dengan tatapan tak peduli, dan Maria hanya menghela napas gusar, lalu pergi ke toilet untuk membersihkan dirinya.

Dua hari berselang, dikala hujan deras mengguyur kota, semua murid sudah pulang begitupun guru-guru yang lain, rasanya hanya tinggal Maria seorang yang berada disekolah itu di tengah gelapnya awan hujan.
Namun, suara klakson mengejutkannya, setelahnya kaca mobil terbuka, menampakkan wajah yang tak asing bagi Maria, siapa lagi kalau bukan orang yang dua hari lalu menumpahkan kopi di atas kepalanya.

Tanpa fikir panjang, Nuero turun dan keluar dari mobilnya, membawa sebuah payung, lalu menjemput Maria di koridor sekolah.

"Biar ku antar."

Tanpa penolakan, wanita berkacamata itu akhirnya mau tak mau ikut dengan Nuero, dan sejak itulah mereka mulai berbincang dan berteman. namun, sampai kini pun, Nuero tak pernah meminta maaf tentang kejadian itu.

Sedikit tak masuk akal, namun memang begitulah kejadiannya.

"Kau pikir ibumu mau menampung anak tak tau diri sepertimu? huh?"

"Dia ibuku, seburuk apapun aku, aku tetap anaknya dan tanggung jawabnya."

"Kau sudah tua, sepatutnya kau mencari istri untuk tempatmu pulang, bukan malah kembali membebani orang tuamu."

Nuero berdecih, "untuk apa? aku tidak butuh istri!"

"Yang ada, mereka akan membebaniku, aku harus bekerja sepanjang hari dan mempertaruhkan nyawaku untuk mereka, itu buang-buang waktu, bahkan menyakiti diriku sendiri."

Mendengar pernyataan itu, Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menyambar kepala Nuero karena kesal, "Dasar bodoh."

"Kau tau itu." balas Nuero dengan tampang menyebalkannya.

Maria seharusnya tau, berdebat dengan Nuero bukan hal yang bagus.

Diam beberapa saat, mereka akhirnya terhanyut dalam kesunyian dan hembusan angin malam di kafe kecil itu.

Sampai pada akhirnya, Maria teringat akan sesuatu.

"Lima bulan lalu, saat pesta perayaan ulang tahun sekolah, kau terlihat begitu tergesa-gesa untuk segera pulang, ada apa Nue? kau belum sempat bicara alasannya padaku."

Nuero mengerutkan alis matanya, "Haruskah aku?"

Maria mengulum bibirnya lalu terdiam, ia menyeruput kopi pahitnya, lalu mengangkat satu alisnya, masih menunggu jawaban.

"Hhh, baiklah-baiklah.. Ibuku sakit, kau tau? wanita tua itu punya riwayat penyakit jantung. bukan sesuatu yang aneh kan?" Ucap Nuero sambil mengangkat kedua bahunya.

"Kau tak pernah bilang itu padaku, sejak kapan?"

"Bukan hal penting. pikirkan saja dirimu sendiri!"

Menghela napas untuk kesekian kali, akhirnya Maria pasrah dan memilih untuk diam. dari pada harus adu mulut terus menerus dengan Nuero, yang malah tak akan berujung sampai kapanpun. Pria itu tak akan pernah mau mengalah sekalipun.

...

Suara langkah kaki terdengar menggema disebuah lorong sekolah. pria itu berjalan dengan sedikit pelan dan membungkuk seolah membawa beban yang sangat berat di pundaknya.

Joseph Marocho.

Sebuah semangat datang di hari senin malam, membawa dirinya kesini, seolah itu adalah ilham dari Tuhan yang membuatnya bisa berpikir sedikit jernih.

"Pagi, Tuan."

Seseorang menghentikan langkahnya, seorang wanita berpakaian rapi dengan blazer yang membalut tubuhnya, dan rok selutut yang menutupi kaki kurusnya. dia berkacamata dan membawa beberapa buku di tangannya, Joseph mengangkat kepalanya untuk menatap orang itu, ia wanita yang tergolong cukup tinggi, sedikit membenarkan kacamatanya kala Joseph menatapnya. Gayanya sudah tidak asing lagi, sudah di pastikan ia adalah guru disini.

"Apa anda mencari seseorang ?" tanya nya lagi.

Joseph berdeham, "Aku mencari ruang guru. tempo hari aku datang kemari dan sekarang aku lupa dimana ruangan itu berada."

"Ah, baiklah biar kutunjukkan Tuan, mari.."

Akhirnya Joseph mengikuti langkah kaki wanita itu, dia belum terlalu tua seperti dirinya, mungkin sekitar usia 35 tahunan. setelah mengambil beberapa langkah ke arah utara dan belok ke barat sepuluh langkah, akhirnya mereka sampai diruang guru, mereka berdua masuk bersamaan dan di sambut ramah oleh semua guru disana.

Salah satu pria berambut klimis berpakaian suit lengkap dan rapi, menyapanya terlebih dahulu, "Ah, selamat pagi Tuan Joseph."

Joseph menarik kedua sudut bibirnya, namun bukan tersenyum, lalu sedikit membungkuk untuk membalas sapaan itu, "Selamat pagi."

"Semuanya." ucapnya lagi, lalu mengedarkan pandangannya keseisi ruangan sambil tersenyum tipis, sejujurnya ia tak terlalu suka berkumpul bersama orang dengan gaya hidup seperti mereka ini, ia lebih senang berada di ladang anggur, namun itu malah membuatnya selalu mengingat kejadian kelam itu, alhasil ntah kenapa dan dengan dorongan apa, ia malah melamar pekerjaan menjadi guru disini.

"Biar aku yang mengenalkan, dia adalah Tuan Joseph Narrow, yang akan menjabat menjadi wali dari kelas XI-4, Sosiologi."

Wanita yang mengantar Joseph kemari, terlihat sedikit terkejut begitu mengetahui Joseph ternyata guru baru yang akan menggantikan posisi Nuero.

...

tbc.
cmiiw.

DEFEAT SILENTLY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang