Suara air hujan sayup-sayup terdengar di gendang telinga. Jutaan rintiknya turun membasahi tanah, menimbulkan bau yang cukup menyengat hingga ke dalam ruangan bercat putih itu. Seorang gadis tengah terpaku di balik jendela kaca, menatap tetesan air yang jatuh dari pucuk daun. Ditemani dengan secangkir coklat panas, ia kembali menerawang ingatannya beberapa tahun silam.
Hujan di luar semakin reda, sinar matahari mulai mengintip lagi. Gadis itu masih bertahan di posisinya. Ia beralih menatap sinar matahari yang mulai mengebul. Hari ini masih pukul 12.30 siang. Ia teringat kala setiap kali terbangun dari tidur dan selalu mengucapkan,"Aku tak ingin melihat matahari terbit lagi". Oh, ucapan bodoh itu masih sering terngiang dalam otaknya. Saat ini, hanya ada penyesalan yang belum bisa ia perbaiki.
. . .
"Suka ya, baca bukunya Swastamita?" tanya seorang gadis berjilbab coklat muda. "Tidak juga sih. Lebih suka baca punya Arunika. Tapi sayangnya, dia sudah tidak pernah kelihatan lagi." jawab gadis berjilbab merah, ia tengah sibuk membolak-balik buku setebal dua jari di tangannya. Dua gadis itu baru saja pulang dari toko buku. Dhira—gadis berjilbab merah—sangat gemar membeli buku-buku atau novel yang sedang diminati banyak orang. Salah satunya, ia membeli buku karya Swastamita, penulis muda yang sedang naik daun. Sedangkan Binar—gadis berjilbab coklat muda—lebih senang membaca ulang buku atau novel yang sudah ia miliki, ia tidak sesering Dhira mengeluarkan uang untuk membeli buku baru, karena ia tak semudah sahabatnya mendapatkan uang.
"Memang, kamu tidak tahu kenapa Arunika tidak muncul lagi?" Binar bertanya lagi. "Tidak." Jawab Dhira singkat sambil menggelengkan kepala.
Mereka sama-sama kuliah di Jurusan Jurnalistik dan tinggal satu atap di salah satu kos putri terdekat kampus. Pikir mereka, supaya lebih hemat biaya. Ini adalah tahun kedua mereka bersahabat sejak awal masuk kuliah.
"Aku punya buku terakhir Arunika sebelum dia tidak muncul lagi. Terbitan ini limited edition. Kamu mau baca?" tawar Binar. "Boleh," jawab Dhira.
. . .
Suara kicau burung di pagi hari terdengar menembus langit-langit kamarku. Aku masih terbaring di bawah balutan selimut tebalku, malas untuk bangun. Embun pagi di luar baru saja menguap. Cahaya matahari pagi mulai menyentuh seluruh isi ruangan kamarku. Akhirnya, kupaksa mataku agar terbuka karena terik matahari yang meraba kulit wajahku. Apakah hari ini aku harus mengahdapi kenyataan pahit lagi? Aku malas keluar dari rumah, menatap orang-orang yang tidak mengharapkan keberadaanku. Bahkan untuk melihat matahari terbit saja sebenarnya aku enggan. Oh, tentu hanya dengan tidur tidak akan mengubah keadaanku.
Arunika, itulah nama yang Mama berikan kepadaku. Arunika yang bearti matahari terbit, seperti harapan Mama agar aku bisa menjadi seperti matahari, hangat, pemberi semangat, ceria, bermanfaat bagi banyak manusia, tidak pernah membeda-bedakan siapa yang harus dikasihi. Itulah yang diucapkan oleh Mama ketika pertama kali melihat dan menimangku sebelum pergi untuk selamanya. Kakakku yang memberitahuku tentang hal itu.
Nama adalah doa bagi pemilik nama itu sendiri. Tapi, kurasa doa itu belum terjawab. Aku tidak seperti yang diharapkan Mama, aku telah mengecewakannya. Aku gadis pendiam, pemurung, tidak pandai berbaur, tidak berbakat, tidak berprestasi, bukan gadis kebanggaan Papa pula.
"Kamu tahu kenapa Papa selalu membangga-banggakan Kirana? Dia itu mandiri, cerdas, berprestasi. Itu yang Papa mau dari kamu. Kamu anak kandung Papa, tapi justru Kirana yang beri itu buat Papa." kata-kata yang terlontar dari lisan Papa menampar keras diriku. Aku merasa gagal untuk menjadi Arunika, sang matahari terbit.
Bahkan bukan hanya Papa. Tapi tidak sedikit orang di sekitarku yang kerap berbicara angkuh juga merendahkanku. Hal sekecil apapun yang kulakukan entah mengapa selalu dianggap seperti sampah yang patut dibuang dan diacuhkan. Aku seperti debu yang tidak diperdulikan, namun tiba-tiba saja disedot oleh vacuum cleaner dan menghilang.
Pernah, aku hampir kehilangan kendali atas akal sehatku, aku nyaris melangkahkan kakiku melewati balkon kamarku. Kak Kirana yang kebetulan mampir ke kamarku dan melihat ulahku langsung menarik dan mendekapku erat. Ia ikut menangis melihatku yang hampir menghabisi nyawaku sendiri.
"Kamu jangan tumbang! Kakak tidak ingin melihat kamu seperti ini. Ayo bangkit lagi! Kamu tidak boleh kehilangan sinarmu. Hidup kamu masih panjang, kamu harus menatap masa depan!" Kak Kirana adalah satu-satunya dukunganku, meski dia adalah kakak angkatku. Dia berusaha mendorongku supaya tidak tumbang sebagai pecundang, tapi harus bangkit sebagai pemenang.
"Kamu harus janji sama Kakak! Kamu harus jadi orang yang kuat, tabah, dan kelak akan sukses. Buktikan pada semua orang bahwa kamu bisa lebih hebat dari mereka. Buat mereka menyesal, mengagumi, dan membutuhkanmu!" Kak Kirana menekan setiap kata-katanya. "Satu lagi! Jangan pernah membenci siapa pun yang membuat kamu jatuh! Siapa pun dan apapun." lanjut Kak Kirana.
Aku hanya mengangguk lemah lantas memaksakan bibirku untuk tersenyum. Kak Kirana pun mengajakku salat sunah agar hatiku lebih tenang. Ia juga memintaku untuk memohon ampunan kepada Allah SWT atas perilaku burukku.
. . .
Dhira merebahkan tubuhnya sejenak, ia meregangkan otot-otot yang meronta karena terlalu lama duduk. Ia mulai sedikit tersentuh dengan kisah Arunika yang dibacanya secara tidak urut, alias meloncat-loncat ke bagian yang menurutnya penting.
"Binar! Di sini ada bagian Arunika menghilang dari dunia penulisan tidak?" Dhira berteriak pada Binar yang kini tengah sibuk membuat coklat panas favoritnya. "Duh! Tinggal baca ajah dulu! Kok repot." sahut Binar tidak kalah kencang. Dhira pun melanjutkan kegaiatan membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Cahaya
Short StoryArunika, itulah nama yang Mama berikan kepadaku. Arunika yang bearti matahari terbit, seperti harapan Mama agar aku bisa menjadi seperti matahari, hangat, pemberi semangat, ceria, bermanfaat bagi banyak manusia, tidak pernah membeda-bedakan siapa ya...