poros

3 1 0
                                    


Bermacam rintangan dan tantangan aku coba lalui hingga akhirnya aku berada di titik kesuksesan. Awalnya, aku mencoba mengorek bakat terpendamku yaitu menuangkan imajinasi dan ide-ideku dalam bentuk tulisan. Hal-hal itu mencul sejenak aku mulai gemar membaca buku atau novel karya beberapa sastrawan Indonesia. Aku juga mulai menggiati kegemaranku yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Aku juga baru sadar jika aku suka dengan pelajaran Matematika yang membuat teman sekelasku menghampiriku sekadar bertanya rumus.

Perubahanku perlahan menarik perhatian banyak orang, termasuk orang-orang yang dulu pernah mencaci dan menghinaku. Papa pun semakin mendukungku juga tidak pernah memaksakan kehendaknya lagi. Tidak ada lagi perbandingan antara aku dan Kak Kirana, justru pujian yang sering mendatangiku. Aku mulai mengikuti lomba, masuk dalam beberapa organisasi sekolah, juga kerap menjadi bintang kelas.Beberapa karya tulisku dikirim ke penerbit dan diterima. Aku mulai berani untuk launching dan terus mengeluarkan karya dengan niat memotivasi dan bermanfaat bagi banyak orang. Seperti apa yang diharapkan orang tuaku.

Dulu, aku pernah berpikir bahwa lari dari kenyataan akan membuat hidupku terasa lebih bahagia. Tidak! Aku tidak bisa lari dari diriku sendiri. Aku tidak lari, aku hanya ingin pergi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya adalah bagian yang sulit. Hujan mengajariku arti setinggi apapun ia, ada saatnya dia membumi. Matahari mengajariku arti setinggi apapun ia, ia tetap memberi sinarnya tanpa pandang bulu. Jika matahari adalah masalah, jangan menghindarinya dengan menutup mata, tapi keluarlah dan hadapi ia! Agar tahu bagaimana rasa menikmatinya. Bagian terpenting adalah jangan pernah lupa untuk berdoa dan berterima kasih pada Tuhan. Karena tanpa rida Tuhan, sekuat apapun usahamu tidak akan bearti apa-apa.

. . .

"Binar, bagaimana kelanjutannya? Kamu tahu kan? Oh, iya. By the way, aku tidak tahu Arunika tuh orangnya yang mana?" Dhira mulai mengeluarkan kicauannya kembali setelah menyelesaikan buku di genggamannya itu.

"Dia kena tuduhan membakar perpustakaan pribadi Swastamita. Hampir ditahan, tapi karena Kirana yang sayang banget sama dia, jadi Kirana cari cara agar dicabut tuntutannya." ujar Binar sambil sesekali menyesap coklat panasnya.

"Oh, ada hubungannya sama Swastamita juga? Arunika padahal sudah sukses, tapi kenapa masih mau mengambil kesuksesan orang lain? Nggak nyangka aku."

"Namanya juga manusia." ucap Binar datar lantas membuang napas kasar.

"Eh, besok ikut ke seminarnya Swastamita, ya!" pinta Dhira.

"Tidak mau ih," tolak Binar mantap. "Masa aku sendirian, gitu?"

"Oke, oke. Tapi aku tidak mau kalo ikut minta tanda tangan." Binar menyetujui.

Esok harinya, Binar dan Dhira pergi ke seminar yang dimaksud oleh Dhira. Perjalanan satu jam mereka tempuh dari Depok ke Jakarta dengan motor tua milik Ayah Dhira yang ia bawa ke kos untuk transportasi sehari-hari.

"Aku ke kamar mandi sebentar, ya." ujar Binar yang kemudian diiyakan oleh Dhira. Binar mendadak ingin buang air kecil saat baru saja sampai di dalam gedung lokasi seminar.

. . .

"Arunika!" seorang gadis berjilbab hitam tiba-tiba memeluk Binar. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi, begitu juga dengan Binar.

"Kamu kemana saja? Kenapa kamu tiba-tiba pergi dari rumah setelah insiden itu? Papa sakit-sakitan, khawatirin kamu." gadis itu berkaca-kaca, ia memegang kedua lengan Binar. "Kakak minta maaf. Sebenarnya, kebakaran itu ulah Kakak sendiri. Kakak merasa iri dengan kamu waktu itu. Papa sangat kecewa dengan Kakak." lanjut gadis itu, tangisannya pecah dan air matanya meluncur licin membasahi pipinya.

"Aku hanya ingin pergi saja, Kak. Aku tidak menyalahkan siapa pun. Kakak yang mengajari aku begitu." jawab Binar sambil mengusap air mata gadis itu.

"Kakak janji akan perbaiki kesalahan Kakak. Maaf, ya. Kamu mau pulang, kan? Papa selalu mengharap kepulanganmu, begitu pun Kakak." Binar hanya membalasnya dengan mengangguk kepala.

. . .

Hidup tidak selamanya seimbang dan lurus. Kemarin, kedua kalinya aku mencoba lari dari kenyataan hidup. Namun, sekarang tidak akan lagi. Dulu, Kakakku adalah sinarku. Seperti namanya, Swastamita yang berarti matahari terbenam. Iya, cahayanya pernah tenggelam. Namun, kini telah muncul gemerlapnya malam yang indah. Kakakku berusaha memperbaiki kesalahannya, dan Dhira pun sudah mengetahui identitasku yang sebenarnya. Aku kembali pulang dan kembali menghadapi dunia.

Ketika tidak menemukan sinar matahari, jadilah sinar matahari itu sendiri. Matahari mungkin akan terbenam, tapi esok akan terbit lagi. Tidak ada janji yang pasti selain matahari yang terbit setiap hari, kecuali jika dunia ini telah berakhir.

Dua CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang