1

689 23 54
                                    

Namaku Yonas Budiman, dulu dibesarkan oleh ibu tiriku, karena ibu kandungku meninggal saat aku berusia 12 tahun. Ayahku menikah lagi setelah tiga bulan kepergian ibuku, ternyata mereka memang sudah berselingkuh sejak sebelum ibuku meninggal.

Bunda tiriku bernama Elisa, berusia 36 tahun. Cantik dan memiliki lekuk tubuh indah. Pantas saja ayahku begitu gampang melupakan ibu kandungku. Hubunganku dengan Ayah tidak begitu dekat, beliau hanya berperan sebagai ayah yang menafkahi anak.

Sudah lima tahun kami tinggal bertiga dalam satu rumah. Aku selalu memanggilnya Bunda Elisa, dia begitu menyayangiku dari pertama kali pindah ke rumah kami.

"Yonas, nih sarapan sudah siap, ya? Nanti malam kamu mau makan apa? Biar Bunda masakin spesial buat kamu untuk hari ini," tanya Bunda Elisa, duduk di sebelah Ayah dan memberikan secangkir kopi.

"Bun, Bunda Elisa ini benar-benar Bunda yang baik, bukan hanya perhatiin suami, tapi juga anaknya, ya 'kan, Ayah?" pujiku, tersenyum dan menoleh ke arah Ayah.

Ayah meletakkan cangkir kopi. "Ya," jawabnya datar, mungkin memang tidak tertarik dengan pembicaraanku.

"Kan Bunda memang begitu, kok Ayah seperti tidak setuju begitu?" tanya Bunda Elisa kepada Ayah. Mungkin Bunda Elisa merasa bahwa perkataanku itu benar, tetapi malah respon Ayah yang tak memuaskan untuknya.

Ayah menghempaskan napas, terlihat malas berdebat-lebih memilih untuk kembali menyeruput kopi. Sementara Bunda Elisa yang berhati sabar, hanya menarik napas panjang.

"Aku mau opor ayam, Bun," kataku antusias sekaligus berharap untuk membuat suasana lebih baik.

"Baiklah, nanti Bunda Elisa masakin, ya?" Bunda Elisa tersenyum hangat kepadaku seperti biasa.

Selama ini, Bunda Elisa memberikan kasih sayang yang tidak pernah aku dapatkan dari seorang ibu kandungku sendiri. Hubungan kami begitu dekat, beda dengan kedua orang tua kandungku. Ayahku bukan ayah yang buruk, mungkin beliau hanya selalu sibuk berkerja.

Aku duduk di bangku SMA kelas XI. Menyukai siswi adik kelas bernama Rosa, aku sudah menyukainya empat bulan lalu. Aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan dan memintanya untuk menjadi pacarku, tetapi aku ditolak. Yasudahlah, sejak saat itu, aku sudah tidak lagi memikirkan untuk mendapatkan pacar.

"Eh, kamu tahu nggak, Anita udah putus tuh, kamu deketin dia, coba deh." Santo menyarankan, ia sahabat yang selalu bersamaku saat di sekolah. Kami juga duduk satu bangku.

Aku memutar bola mata. "Males ah! Ntar aku ditolak lagi," kataku tidak bersemangat dan tidak tertarik dengan Anita.

"Ye ile, gara-gara satu kali ditolak, jadi kayak krupuk gini. Rosa itu saingannya berat, Yonas kamu saingan sama Vincent-si cowok paling ganteng di sekolah ini," ledek Santo, diakhiri tawa puas.

"Ah, bodo ah, enggak peduli lagi aku, lagian aku nggak mikirin cewek, sekarang," ucapku yakin, tak peduli ledekan tawa Santo.

"Hm, keren lah," ujar sarkas Santo, bibirnya melengkung ke bawah, tanda meremehkan ucapanku.

"Lagian, aku juga paling ganteng, kok!" ucapku percaya diri.

Santo menyetujui, antusias. "Bener banget seratus persen, kamu paling ganteng serumah."

"Nah, tuh kan! Itu maksudku," ucapku yang diakhiri tawa, padahal tidak lucu.

Aku dan Santo berjalan di koridor sekolah, aku suka sekolah umum negeri itu. Aku termasuk netral, tidak memiliki musuh di sekolah, tidak ikut bergosip, tawuran, geng, atau ikut campur urusan siswa lain. Aku memang suka cari aman, tidak suka mencari gara-gara atau musuh. Aku bukan siswa yang pintar, otakku hanya rata-rata.
Untung saja ada Santo yang selalu kuandalkan.

Biasanya setelah pulang sekolah, aku bermain game boy bersama teman-temanku. Aku ketuk pintu rumah-sepulang bermain dari rumah Santo. Bunda Elisa yang membuka, seperti biasa memang selalu terlihat cantik dan indah dipandang mata. Mengenakan dress lengan terbuka dan panjang selutut. Aku tertegun saat dia membuka pintu.

"Ayah mana, Bun?" tanyaku celingukan.

"Ternyata Ayah tidak pulang, harus keluar kota buat gantiin teman kerjanya yang mendadak tidak bisa, jadi kita makan malam berdua."

Kami berjalan ke ruang makan untuk menyantap bersama. Setelah selesai, aku menatap Bunda Elisa. Seketika kualihkan pandangan saat dia menoleh ke arahku, mengerjap dan menunuduk, kuliriknya kembali diam-diam.

"Gimana tadi sekolahnya? Katanya ulangan?" Bunda Elisa memberikan senyuman lembut yang kurasa.

"Ya, Bun aku cuma dapet tujuh, Santo dapat sepuluh," jawabku, masih menunduk. Kini malu untuk menatap wajahnya.

"Apa kamu sekarang sudah punya pacar?" Bunda Elisa terlihat ingin tahu-atau memang hanya basa basi untuk menghangatkan suasana. Dia memang suka mengobrol apa saja.

"Enggak, Bun. Dulu pernah nembak, tapi ditolak," jawabku, merasa tidak percaya diri dan tersenyum kaku.

"Ouh, yaudah tidak pa-pa, cewek itu banyak, cari saja yang lain." Dia tersenyum, beranjak dan mulai membereskan piring kotor.

Aku tidak tinggal diam, membantunya membereskan meja makan. Setelah selesai, Bunda Elisa mengajakku menonton televisi, aku mengiyakan, kami duduk berjarak antara satu meter di sofa.

Sungguh, jantungku berdetak begitu kencang. Aku tidak fokus menonton televisi, terus meliriknya, sementara dia sepertinya juga melakukan hal yang sama, mungkinkah demikian? Atau hanya aku saja yang berhalusinasi.

Aku sudah tidak sanggup untuk terus duduk dengannya, harus pergi ke kamar dan aku perpamitan. Memang sudah lama aku simpan rasa cinta ini kepada Bunda Elisa. Bukan cinta sebagai orangtua, tetapi cinta seorang laki-laki kepada lawan jenis.

Aku terus simpan perasaan ini, entah kapan perasaan cintaku mulai tumbuh. Itulah sebabnya, aku tidak patah hati saat ditolak Rosa, karena aku memang tidak mencintainya, hanya ingin melampiaskan kecemburuanku terhadap ayahku, tetapi Rosa menolakku.

Terkadang bertanya kepada diriku sendiri, apa salah mencintai seorang wanita yang umurnya lebih jauh? Aku tidak berani berkata kepada siapa pun tentang hal ini. Karena merasa bahwa aku ini memang salah.

Bunda Elisa adalah ibu tiriku, istri dari ayahku sendiri. Tidak seharusnya aku mencintainya. Sepertinya aku harus belajar untuk mencintai perempuan lain. Tidak seharusnya aku melakukan kesalahan ini.

Dulu, aku sangat menyayangi Bunda Elisa-sebagai pengganti ibuku yang telah meninggal. Mengapa rasa itu berubah menjadi cinta? Aku sempat tidak percaya, tetapi itulah yang aku rasakan.

Bunda ElisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang