4

391 16 35
                                    

Tujuh belas tahun kemudian, kini aku sudah menikah, memiliki anak perempuan berumur lima tahun. Aku menyayangi istri dan anakku, tetapi mengapa selalu merasa kesepian setiap hari, selalu merindukan Bunda Elisa, entah di mana dia sekarang.

Aku ingin bertemu dengannya, benar-benar menghilang tanpa jejak sama sekali. Cintaku masih besar terhadapnya, benar-benar ingin bertemu dan kuingin tanyakan beberapa hal kepadanya.

9 Januari 2018.

Saat pulang dari kerja, aku melihat seorang wanita tua yang sedang berjualan nasi uduk di pinggir jalan, sepertinya aku mengenal wanita itu. Kuhentikan mobil dan berlari menuju wanitu tua itu.

Dia sedang sibuk melayani dua pembeli, aku terus memerhatikan wanita tua itu, napasku semakin cepat seiring langkah kaki yang melambat. Wanita tua itu menoleh ke arahku, dan aku mematung.

"Pak, Pak mau nasi uduk, berapa?" tanya pedagang nasi uduk.

"Bunda Elisa," sapaku. Terus menatapnya, mataku berbinar-binar, masih tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku.

Bunda Elisa terdiam, seketika mengenaliku yang dulu selalu memanggilnya 'Bunda Elisa'. Ya, mungkin hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Dia masih terdiam, kedua matanya menatapku dengan tatapan tertegun.

Kuperhatikan penampilannya sekarang berbeda dari 17 tahun yang lalu. Meski begitu, dia masih cantik, masih Bunda Elisaku yang dulu. Aku benar-benar ingin memeluknya untuk mengobati rinduku yang bahkan tak tahu sebesar apa.

Bunda Elisa bergumam tidak jelas, terlihat kebingungan melihatku. Setelah beberapa saat, baru kembali berucap dan menatapku, "Yonas."

Aku berjongkok di hadapannya yang sedang duduk di bangku kecil.

"Ya, Bunda Elisa. Kenapa dulu Bunda meninggalkanku? Kenapa Bunda? Hal itu yang selalu aku ingin tanyakan," ucap pelanku sembari memperhatikan sekitar.

"Kamu tahu jawabannya, Yonas, kita berbeda umur, hubungan itu tidak mungkin kita lanjutin, Bunda memilih untuk meninggalkanmu dan memulai hidup baru," ucap Bunda Elisa yang tak menatap wajahku.

"Apa benar, itu alasan sebenarnya? Bukankah beda umur itu bukan suatu masalah. Bahkan pada saat itu, aku sudah berusia dewasa.

"Kenapa Bunda enggak ninggalin sepatah kata pun untukku? Apa Bunda tahu? Waktu itu aku benar-benar hancur, aku kehilangan arah, aku sebatang kara. Begitu gampangnya Bunda ninggalin aku?" Aku terus menatapnya. "Apa Bunda Elisa tidak mencintaiku sama sekali?"

Seketika Bunda Elisa menoleh, kembali menatapku. " Yonas, kamu hanyalah anak tiriku," ucapnya ampas, membuatku merasakan kembali sakit di dada.

"Lalu hubungan kita apa dulu? Aku pikir Bunda Elisa juga mencintaiku. Apa aku hanya pelampiasan napsu untuk Bunda Elisa?" tanyaku sesal.

Tiba-tiba ada pembeli datang. "Bu, mau nasi uduk lima ya, Bu."
Aku berdiri dan melangkah agak menjauh darinya.

Aku kembali mendekat setelah pembeli pergi. Masih ingin tetap bicara dengannya, tetapi dia selalu mengalihkan pandangan dan malah bergegas membereskan dagangan, pergi meninggalku.

"Bunda Elisa!"

Aku terus memanggilnya, tetapi Bunda Elisa tak peduli dan menaiki angkot. Aku segera masuk ke mobil, diam-diam mengikuti angkot itu hingga sekitar 15 menit, Bunda Elisa keluar dari angkot, berjalan ke jalan setapak.

Aku parkirkan mobilku dan mengikutinya, tetapi kehilangan jejak, ada dua belokan di jalan setapak itu. Aku kembali dan berjalan menuju mobil.

Aku terus menemui Bunda Elisa saat berjualan. Sungguh, aku tidak bisa melupakannya, terus terbayang-bayang. Tahu salah, aku sudah berkeluarga, tetapi masih mencintainya.

Bunda ElisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang