2

501 20 54
                                    

5 Juni, 2000

Waktu belajar mengajar sedang dimulai, tiba-tiba ada seorang guru yang memanggilku dan memberi kabar duka. Aku harus pulang ke rumah. Ayahku meninggal karena dirampok. Sesampainya di rumah, aku menangis sejadinya. Kehilangan seorang ayah, meski tidak begitu dekat dengannya, tetapi beliau adalah ayahku. Aku benar-benar terpukul dan Bunda Elisa juga demikian.

Kami meratapi makam orang yang kami sayangi, menangis dan berduka. Aku memeluk Bunda Elisa, mencoba menenangkan, lalu mengajaknya untuk pulang. Aku benar-benar bersedih, meski ayahku tidak pernah menganggapku ada, tetapi aku benar-benar merasakan kehilangan orang tua.

Lima bulan setelah ayahku meninggal, aku berulang tahun yang ke 18. Aku masih terus mencintai Bunda Elisa-meski sudah mencoba untuk berpindah hati. Dia masih terus saja memasakkan untukku, menyetrika bajuku, dan hubungan kami masih dekat layaknya ibu dan anak. Namun, aku selalu menganggap hubungan kami lebih dari sekedar ibu tiri dan anak tiri.

Ketika kurasa bahwa Bunda Elisa sudah jauh membaik dan menerima kepergian Ayah, aku berani mengutarakan isi hatiku. "Bun, aku mau bicara sama Bunda Elisa," kataku ragu.

Bunda Elisa fokus menonton televisi. "Iya, Yonas," jawabnya. Tatapan mata yang masih fokus ke televisi.

"Bun, sebenarnya aku dari dulu ada perasaan yang berbeda terhadap Bunda Elisa, perasaan seorang cowok remaja yang mencintai wanita, dari dulu Bunda, aku selalu menyimpan perasaan ini," ungkapku, menatapnya dengan keberanian-meski jantungku terpacau begitu cepat.

Dia menoleh ke arahku dan membulatkan mata, kurasa ini adalah hal yang mengejutkan untuknya. "Yonas, kita ini beda jauh umurnya, kita tidak mungkin bersama meski kamu bukan anak kan-" Bunda Elisa berhenti mengucap, seperti kelepasan.

Aku seketika tertegun dan penasaran apa yang akan hendak Bunda katakan. Tentu saja aku mulai berpikir buruk akan tentang diriku sendiri. "Apa, Bun? Tolong lanjutin," pintaku.

"Sepertinya Bunda tidak berhak untuk mengatakan ini," katanya, menghindari kontak mata dariku, kembali menatap layar televisi.

"Tolong katakan, Bunda, kebenaran harus diungkapkan," pintaku memohon. Aku sangat ingin tahu ada apa yang sebenarnya-yang membuat tanganku gemetar.

"Baiklah, Bunda rasa juga begitu, kamu sebenarnya bukan anak kandung Januar." Bunda Elisa memutar leher dan menatapku prihatin.

Aku tercenung. Mulai bingung dan bertanya-tanya dalam diriku sendiri, bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak pernah tahu? Kenapa tidak ada yang mengatakan ini dari dulu? Aku masih terdiam mulai meratapi diriku sendiri. Apakah itu sebabnya ayahku tidak pernah ada untukku?

"Januar itu tidak subur, itulah sebabnya kami tidak memiliki anak sampai dia meninggal. Januar mengetahui kamu bukan anak kandungnya saat kamu berusia empat bulan dan dalam akta kelahiranmu pun masih tetap menggunakan nama Januar sebagai ayah kandungmu." Bunda Elisa menjelaskan begitu.

Aku masih terdiam dan masih sulit untuk memercayai kenyataan itu.

"Ibu kandungku?" tanyaku, merasa cemas dan entah mengapa aku jadi berpikir bahwa ibuku yang sudah meninggal-mungkin juga bukan ibu kandungku.

"Ibu kandungmu tetap Vanesa. Vanesa berselingkuh hingga akhirnya mengandungmu, hingga waktu kamu lahir baru ketahuan karena Vanesa jujur. Meski begitu, Januar tetap memaafkan Vanesa, tetapi hubungan mereka tak pernah harmonis dan Vanesa terjerumus dengan obat-obatan terlarang. Bunda Elisa tidak tahu siapa ayah kandungmu yang sebenarnya." Begitulah penjelasan dari Bunda Elisa yang membuatku terdiam membatu.

Aku mengingat masa kecilku. Saat itu, tidak tahu apa yang namanya narkoba, memang yang kuingat-aku pernah lihat Mama menyuntikan diri di lengannya, tetapi aku tidak tahu apa suntikan itu. Kini dadaku serasa sesak, aku berpamitan kepada Bunda Elisa untuk pergi menghirup udara segar. Aku nyalakan motor milik ayahku, ingat masa-masa kecilku dulu.

Ibu kandungku dan ayahku yang setiap hari hanya terdiam seperti tidak mengenal satu sama lain, jika pun mereka bicara, hanya sepatah kata, tidak ada kehangatan apa pun saat itu. Dalam satu bulan, satu atau dua kali mereka selalu bertengkar hebat, aku hanya ketakutan dan memeluk kedua mata kaki. Kudengar suara teriakan, lemparan kata-kata kasar, dan lemparan barang-barang yang mereka banting, tidak memerhatikan bahwa ada anak kecil dalam rumah yang tidak tahu apa-apa.

Meski hubungan yang selayaknya sudah tidak bisa dipertahankan, tetapi mereka tetap bertahan, aku juga tidak tahu apa alasannya. Hingga hari itu setelah aku pulang bermain, aku melihat ibuku tergeletak dengan busa di mulutnya, wajahnya membiru. Aku benar-benar histeris seketika itu, berteriak dan memanggil ibuku yang sudah tidak bernyawa.

"Mama ...! Mama tolong bangun, jangan tinggalin Yonas, Ma ... Yonas butuh Mama, Yonas sayang Mama, Yonas mau Mama bangun, Yonas mohon, Mama ...!" tangisku, panik melihat kondisi Mama.

Aku berteriak sekencangnya, tidak ada siapa-siapa di rumah, hanya aku dan Mama. Aku bersandar di dada ibuku, masih berharap bahwa Mama akan bangun. Terus memanggil ibuku, aku guncang pundak ibuku, tetapi beliau tidak bergerak. Aku peluk tubuh yang sudah kaku itu, terus menangis, benar-benar ketakutan. Hingga tetangga datang mengetuk pintu. Segera berlari dan meminta bantuan kepadanya.

Seorang wanita paruh baya memeriksa denyut nadi ibuku. "Innalilahi wainnalihi rajin. Yonas, mamamu sudah meninggal."

"Enggak mungkin, Bu! Tolong anterin Mama ke rumah sakit! Tolong, Bu, Yonas mohon!" Aku terus memohon kepadanya.

Tetanggaku hanya terdiam, menatapku iba.

Aku tidak tahu, ibuku sebenarnya memang overdosis, atau sengaja bunuh diri karena ketidakbahagiaan dalam hidupnya.

Aku terus menangis di makam ibuku, Ayah mengajakku pulang, tetapi aku ngeyel dan masih ingin terus menemani tempat peristirahatan terakhir ibuku. Aku terus menangis, ayahku mungkin prihatin melihatku, tetapi ia memaksaku pulang dan menggendongku hingga sampai di rumah.

"Sekarang ibumu sudah tidak ada, kamu jangan manja mulai sekarang, kalau kamu manja, Ayah lempar kamu keluar," ketus ayahku.

Padahal, waktu itu aku ingin dipeluk oleh ayahku, tetapi mengapa perkataan beliau malah membuatku semakin merasa sakit di dada. Aku hanya terdiam dan menuruti apa kata ayahku.

Sampai saatnya Ayah membawa Bunda Elisa. Aku mulai tersenyum, dia menyayangiku, yang kadang membuat ayahku kesal melihatnya. Ayah berpikir bahwa Bunda Elisa terlalu memanjakanku.

Bunda Elisa bagaikan lampu yang menerangiku di saat aku sedang dalam kegelapan, dia selalu memberikan kehangatan, kasih sayang, dan selalu menyayangiku seperti anak kandung sendiri. Bunda Elisa memang menyayangi anak-anak.

Aku terbangun dari lamunanku. Terus mengendarai motor milik Ayah menuju ke tempat yang sepi.

Berjalan menuju semak-semak. Kulihat sekitar, tidak ada orang, dan aku mulai termenung, menyandarkan wajahku di kedua mata kaki, aku ingin sendiri sejenak. Puas menyendiri dan meluapkan emosi, aku pulang ke rumah.

"Bunda, aku mohon, Bunda tetap di sini, sekarang hanya Bunda yang aku punya, aku tidak punya siapa-siapa," pintaku. Sungguh, aku takut jika Bunda Elisa meninggalkanku, aku tidak ingin sendiri.

Bunda Elisa mengangguk dan tersenyum. "Yonas, kalau kamu mau bercerita apa saja, cerita saja sama Bunda, ya?"

"Ya, Bun." Aku menatapnya nanar.

Tetangga kami tidak ada yang mengetahui aib ibu kandungku. Ayah dan ibuku menjaga aib itu baik-baik. Jadi, yang mereka tahu, aku tetap anak kandung dari Bapak Januar.






Bunda ElisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang