Surya dan bulan adalah penghuni bumantara yang saling membutuhkan. Ketika mereka berdebat tanpa mengalah, maka semua cahaya akan tamat tanpa arah."Candra... Cakra... dua manusia yang saling bersinonim raga, bergerak menjauh saling berantonim sukma."
Remaja itu meracau di sela-sela dia meneguk wine pertama dalam hidupnya. Argumen-argumen suram nan gemulai masih terdengar semarai merajai indra dengarnya. Terpejam, dia tengah berperang di antara tenang. Dalam kepalanya melintas suara-suara sarkas yang menapak lara begitu lekas.
Cakra, lagi-lagi dia tertawa. Menyesapi luka dibalik bahagia yang sementara. Kewarasannya sudah tereduksi oleh minumam alkohol itu. Komunikasi antarsel di otaknya tergangggu, terutama bagian prefrontal cortex dan amigdala, atau bahkan asosiasi dua bagian itu memang sudah retas. Senyum Cakra merekah terbawa euforia hampa tanpa makna. Luka, trauma, dan segala pertanyaan dalam hidup ternyata membawanya jauh lebih liar. Tanda tanya masih terus menjadi lambang kehidupannya.
Dua manusia pemilik untai-untai DNA yang nyaris persis, mengalir darah dari hulu yang sama, tilas tanah rahim yang searoma, bahkan wajah yang hampir serupa, mengapa harus dengan garitan takdir yang berbeda?
Meneguk lagi dan tertawa. Cakra memulangkan nafas, lalu menatap dalam pekatnya langit malam yang dihias percikan bintang-bintang. Cakra menatap sekitar. Di sinilah dia sekarang. Tempat dengan semarak lampu kuning yang menggantung tenang. Orang-orang asik dengan minuman dan makanannya. Sangat kontras. Cakra, remaja belia, berada di tempat yang belum legal baginya. Sebuah kafe bar di tengah keramaian kota, berdiri begitu gagah tak peduli sedang berada di daerah dengan predikat kota pelajar. Orang-orang yang datang ke sini memang paling banyak adalah turis. Beberapa ada orang dewasa berwajah lokal.
"He Cah Bagus." Sapaan asing terdengar serentak dengan suara derap langkah lelaki dewasa yang membawa segelas bir di tangannya.
"BRAK," suara hentakan gelas bir dengan meja berdentum keras. Suara itu mengagetkan sosok Cakra yang sudah larut dalam lamun sejak sepuluh menit terakhir. Lelaki dewasa yang menyapa tadi sudah duduk berhadapan dengan Cakra, pemuda tanggung itu.
Cakra menoleh, menyadari keberadaan orang asing di depannya. Dilihatnya lelaki dewasa bergaris wajah tajam, muka penuh beban, dan mata lelah sedang menatapnya lamat-lamat sambil menyesapi bir di tangannya.
"Cah enom bagus kaya kowe ki nduwe masalah apa to le? Ngombe-ngombe dewean," tutur lelaki dewasa dalam bahasa daerah sambil tertawa kecil.
Cakra membidik tajam orang di depannya, lalu meneguk wine entah ke berapa kali. Lelaki dewasa tertawa melihat tingkah remaja yang terintimidasi karena pertanyaan yang dilontarkannya.
"Kalau jadi pemabuk setidaknya jadi pemabuk yang tanggung jawab." Lelaki dewasa tanpa nama itu memulai percakapan. Cakra yang setengah sadar hanya melengos mendengarnya.
"Pemabuk sing ora nggawa kerugian nggo wong liya. Apa meneh keluarga. Kowe rene nganggo duit sapa? Wong tua? Hahahaha." Suara lelaki dewasa itu terdengar meledek.
Cakra semakin geram dengan orang asing di depannya.
"Kalau mau jadi pemabuk jangan pakai duit orang tua, kasihan bapakmu. Keringat bapakmu lebih berharga daripada segelas wine. Rungokno tenanan, dadi pemabuk ki sek tanggung jawab, ora nggawa kerugian nggo wong liyo, paling ora awakdhewe tok sing rugi. Yo nek iso rasah mabuk ahahahah." Sosok asing lalu itu berpindah meja meninggalkan Cakra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang dan Pulang
Teen FictionSebuah kehilangan membawamu kembali pulang atau kepulanganmu membawa banyak kehilangan?