Rupanya malam ini rembulan dan ribuan bintang di langit tengah malu menampakkan paras cantiknya. Atau mungkin mereka merasa iba dengan awan yang sudah tidak tahan membendung air matanya. Rasanya sangat tidak adil jika selalu membiarkan awan menyimpan begitu banyak air mata. Lalu, bukankah rintik hujan cukup menjadi candu untuk manusia?
Candra salah satunya, sejak satu jam yang lalu ia berdiam diri, menikmati merdunya gemercik air hujan. Netranya tidak lepas dari kepulan asap dari secangkir coklat panas yang akan segera dingin. Tidak ada keinginan untuk meminum coklat itu, menyentuhnya saja Candra enggan.
Tanpa ia sadari air matanya turun, beriringan dengan irama rintik hujan. Entah apa yang saat ini memenuhi pikirannya. Bagi Candra terlalu banyak hal yang sulit bahkan menyakitkan untuk diungkapkan di semesta ini, termasuk perasaannya.
“Candra, aku masuk ya,” ucap seseorang di balik pintu kamar. Suara itu sama sekali tidak memengaruhi lamunan Candra. Merasa tidak ada jawaban, seseorang di balik pintu itu perlahan membuka pintu dan mendekati Candra.
“Can,” ucapnya sembari memegang pundak Candra.
Sentuhan lembut yang mengenai pundak Candra mengacaukan lamunannya. Matanya membulat ketika melihat seseorang tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Wajahnya mendadak pucat pasi, seperti kehilangan darah.
“N-ngapain di sini? Pergi, pergi!” teriak Candra yang berusaha menutup kedua telinganya. Kalimat itu akhir-akhir ini selalu Candra ucapkan ketika ada seseorang yang menghampiri dirinya ditengah sepi.
“Apaan sih Can, masa mas masuk malah diusir,” ucap Jagad.
“Kok nangis? Kenapa?” tanya Jagad ketika melihat jejak air mata di pipi Candra
“Gapapa mas, nguap,” sedikit pembelaan keluar dari mulut Candra karena ia sendiri tidak tahu pasti kenapa dirinya menangis saat ini.
“Gapapa terus, kamu tuh nggak pinter bohong, Can. Kalau ada apa-apa ya cerita. Jangan suka dipendam gitu, mas nggak suka!” pinta Jagad pada adiknya.
“Iya,” timpa Candra.
“Yaudah deh, tapi kalau kamu nangisin Cakra, mas nggak suka ya. Kalo terus – terusan sedih gitu, nanti Cakra sedih ngeliatnya, lagian juga ini bukan salah kamu. Rencana Tuhan gaada yang tahu,” balas Jagad.
Candra tersenyum getir mendengar jawaban Jagad. Ucapan Jagad memang tidak salah. Namun tetap saja, baginya semua yang terjadi pada Cakra berkaitan dengan dirinya.
“Ohiya, Can. Kemarin kok kamu juga bau alkohol sih? Kamu mabuk juga?” tanya Jagad.
“Bantuin Cakra masuk mobil,” bantah Candra.
“Eh, tapi tuh.”
“Aku ngantuk, Mas,” sela Cakra sambil membuang muka seolah meminta Jagad keluar dari kamarnya.
“Aneh,” gumam Jagad menyaksikan kelakuan
Candra.Jagad sadar betul jika adiknya ini sedang tidak ingin diganggu. Bukankah sudah menjadi rahasia umum? Sedikit aneh, namun insan mana yang tidak perlu waktu sendiri setelah kehilangan saudara, terlebih saudara kembar.
Dengan berat hati Jagad segera keluar dari kamar Candra. Ketika pintu kamar Candra tertutup, kepala Candra terasa sangat berat. Semua benda di depannya seolah berputar. Tangannya terus meraba mencari benda apapun untuk bersandar. Perlahan ia menopangkan tubuhnya ke dinding di sebelah pintu balkonnya, begitu sulit namun ia berhasil melakukannya. Ia terus mengerjapkan matanya, berharap pusing dikepalanya segera hilang. Nahas, penglihatannya justru memburam. Tidak cukup sampai di situ, napas dan detak jantungnya menjadi tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang dan Pulang
Novela JuvenilSebuah kehilangan membawamu kembali pulang atau kepulanganmu membawa banyak kehilangan?