Matahari setia, tak pernah meninggalkan bumantaranya. Walaupun ia harus menjadi tiada dahulu untuk menjelma bulan yang mempesona.
Di langit, awan abu terlihat menaungi siang yang redup penuh duka. Angin semilir mengiringi jatuhnya bulir-bulir air mata. Suara isak tangis menjadi lantunan elegi bengis yang menyayat hati. Suasana pemakaman itu begitu sendu. Jelas, sebuah momen kehilangan selalu menjadi hal menyakitkan. Mata-mata sembab, gurat-gurat wajah pilu, dan senyum-senyum tegar akan selalu ditemui pada setiap orang di sana.
Gantari. Manusia yang paling kuat di sana. Seorang ibu yang harus mengikhlaskan sebuah titipan untuk kembali kepada Tuhannya. Tangannya begitu tegar walau sedikit gemetar menggenggam sekepal bunga mawar. Lalu ditaburnya ke makam anaknya yang masih basah. Setiap tindakannya terlihat begitu teguh. Sesekali ia terbuai andai untuk bisa mengisi sisa hari-hari anaknya yang sudah tiada.
Bamantara. Dia mungkin si manusia paling legawa menerima kenyataan pahit yang menyambangi keluarganya. Kehilangan anak dan juga meratapi kesempatan yang lenyap. Kesempatan untuk menciptakan kenangan bersama anaknya yang sudah tiada. Bamantara terus berusaha kuat, menjadi penyongkong anak istrinya saat ini.
Jagad. Lisannya tak henti mendengungkan kata semangat dan sabar untuk remaja di sampingnya. Adik satu-satunya sekarang. Sedangkan remaja itu adalah manusia yang paling tidak bisa dipahami sekarang. Sejak awal prosesi pemakaman saudara kembarnya, dia hanya larut dalam lamun dengan tatapan sendunya. Sesekali terdengar suara isaknya bersamaan dengan rinai yang jatuh dari matanya.
“Kita harus kuat, Can.”Jagad berbisik dan merangkul Candra semakin erat. Suasana beralih lebih khusyuk, mengudarakan doa-doa kepada Maha Pencipta.
Selepas pulang dari pemakaman, suasana rumah duka masih terlihat ramai. Tetangga-tetanga turut membantu membereskan sisa pelayatan tadi. Jagad dan Candra juga terlihat di depan rumah, ikut menata kursi.
“Can, dipanggil mama. Disuruh makan dulu kamu belum makan siang kan?” Seorang wanita di ambang pintu muncul mengajak berbincang Candra.
Candra menoleh, “Iya, Tante.”
“Masnya diajak juga,” ucap Juwita, adik Gantari. Lalu ia kembali masuk rumah.
Candra menoleh ke Jagad yang berada lima meter darinya.
“Mas, disuruh mama makan dulu.” Jagad mengangguk kepada Candra.
Candra beranjak dari kegiatannya. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Sebenarnya tak ada nafsu makan bagi Candra. Namun perutnya sudah sakit melilit, sedari tadi kosong tak ada yang dicerna.
Candra terduduk diam di meja makan. Matanya tak terlepas dari gerak gerik mamanya yang mengambilkan makan.
“Ini, Can. Makan yang banyak, jangan sampai sakit. Mas jagad dimana?” Gantari mulai banyak bicara setelah sedari tadi hanya diam membisu.
Jagad datang dengan langkah pelan, tenaganya seolah habis terserap kesedihan.“Mas, makan dulu. Duduk sini.” Gantari terlihat begitu sigap mengambil makanan untuk Jagad.
“Mas, Can, habis ini kalian mandi ya. Habis asar ada kenduri. Mama mau ke belakang, mau lihat ibu-ibu masak.”
“Mas, yang kuat.” Gantari tersenyum tegar sembari memegang pundak anak sulungnya. Jagad membalas dengan hembusan nafas yang berat. Lalu terbit senyum samarnya seiring menatap ibunya yang berlalu.
Tiba-tiba saja, Jagad sibuk menghapus air matanya di sela makan. Menahan bulir-bulir itu mengalir di hadapan adiknya.
“Mas,” panggil Candra dengan pelan.
“Can, Cakra udah pergi, padahal dia belum sempat duduk bareng sama kita di meja makan ini.” Suara Jagad terdengar serak menahan isak. Pernyataan itu menusuk perih Candra. Candra berhenti mengunyah makanannya. Rasanya Candra sudah kenyang dengan kesedihan. Tak ada ruang untuk kebahagiaan, apalagi hanya untuk makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang dan Pulang
Teen FictionSebuah kehilangan membawamu kembali pulang atau kepulanganmu membawa banyak kehilangan?