Pagi masih terlalu buta untuk sekadar membuka mata, bahkan celoteh ayam jantan saja belum siap untuk mengudara. Tetapi tidak dengan wanita yang satu ini, siapa lagi kalau bukan Caroline Pramudya Anantha.
Wanita berkulit putih bersih dengan hidung yang menjulang tinggi membuat dirinya dilirik sana sini. Ia menyukai warna ungu, mulai dari kamar hingga peralatan sekolahnya berwarna ungu.
Menurutnya warna ungu sangat mewakili kepribadiannya, yakni unik dan pemberani. Maka tak heran kemanapun kakinya melangkah, pasti selalu ada warna ungu dibawanya.
Hari ini ia amatlah bergembira. Mengikuti kepindahan tugas sang ayah di sebuah kota kelahirannya, Yogyakarta. Tak terhitung jumlahnya berapa banyak ia berpindah kota, tetapi hal itu bukan masalah untuknya.
Memang benar dulu wanita itu sempat tinggal di Yogyakarta untuk waktu yang cukup lama, kemudian berpindah ke Jakarta sebuah kota sosialita. Banyak perubahan yang sudah terlewatkan di kota kelahirannya yang kini jauh berbeda saat dulu ia berada di sana.
Senja telah menghiasi langit Yogyakarta. Segudang rindu akan kota kelahirannya ingin segera ia curahkan bersama teman kecilnya, Melinda Kalingga.
Tanpa rasa lelah yang ada pada dirinya, wanita itu segera menghubungi temannya. Mengajaknya bertemu untuk meluapkan rasa rindu yang menggebu.
Seperti yang sudah ia rencanakan bersama Melinda, mereka akan bertemu di kafe yang cukup terkenal di Yogyakarta. Masih dengan pernak-pernik warna ungu yang melekat pada dirinya, Caroline telah tiba di sebuah kafetaria. Matanya beredar mencari keberadaan temannya, tetapi belum juga menampakkan batang hidungnya.
Tampaknya ia sudah sangat terbiasa dengan sifat temannya. Entah memang disengaja atau memang sudah melekat menjadi tabiatnya. Saat ia masuk ke dalam kafe orang-orang tengah melirik ke arahnya, memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Penasaran atau tidak yang jelas Caroline tidak mempedulikannya. Ia terus berjalan mencari tempat untuk menunggu kedatangan Melinda.
Tak lama lonceng pintu berbunyi, pertanda orang datang untuk mengunjungi. Benar saja, dua orang pria tengah berdiri menghalangi pintu masuk yang tak bersembunyi. Matanya beredar mencari tempat untuk mereka duduki, tetapi semuanya telah penuh terisi. Tersisa meja paling pojok tempat Caroline menyendiri.
"Haduh ... Udah penuh brodi, gimana dong?" Kata salah seorang pria atau kerap disapa Andra.
"Balik aja, cari kafe lain."
"Eh bentar ... Itu cewek yang di pojok bukannya si janmud?" Andra menunjuk meja Caroline dengan telunjuknya dan diikuti oleh pandangan mata Keenan.
"Janmud?" Keenan mengernyitkan alisnya, ia memang tidak begitu mengerti dengan singkatan yang dikatakan temannya.
"Astaga, gue lupa!" Kata Andra menepuk jidatnya, "lo kan gatau singkatan anak gaol, taunya materi protosoang."
"Protozoa bodoh!" Sarkas Keenan pada Andra.
"Sama aja. Dah yuk kita gabung sama di-" ucapnya terpotong kala seorang gadis berdiri dibelakang mereka.
"Woy, Sapu lidi! ... Jangan ngalangin jalan orang dong! Minggir, gue mau masuk." Nyelonong Melinda mendorong kedua pria itu.
"Gokil ... Tuh cewek abstrak bener ya sifatnya." Andra menggelengkan kepalanya melihat sifat Melinda barusan.
"Sama kaya lo," kata Keenan berjalan keluar kafe.
"Ken, tungguin gue!" Lari Andra menyusul kepergian Keenan. Mereka berdua tidak jadi mampir ke kafe tersebut dan memutuskan untuk pergi.
Sementara Melinda yang baru saja tiba segera menghampiri temannya yang berada di pojok sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Protozoa
Teen FictionON GOING. Setiap rasa tidak harus menemui tuannya. Tetapi, jika bicara soal cinta! Sudah pasti Protozoa kisahnya. "Mengapa aku harus bertatap muka untuk dapat bertemu denganmu? Sedangkan membayangkan dirimu berada di sampingku, merupakan candu yang...