Dua Puluh

455 93 28
                                    

Trigger warning!: Panic Attack

Jimin

Deretan buah dan sayur menyambangi penciuman Jimin yang suntuk. Sudah lelah dan mulai pening rasanya harus berhari-hari ada di samping Jeongguk yang punya aroma kental kembang dan serta beberapa saudarinya. Taehyung dan Rose, tidak terkecuali. Cerahnya buah jeruk membuat Jimin ingat dengan kawannya yang lama tidak ia temui. Hoseok. Pekerjaannya yang mirip dengan Jeongguk menjadikan laki-laki itu enggan keluar rumah kalau sudah dapat waktu libur. Jimin masih beruntung karena Jeongguk tipikal orang yang susah meninggalkan orang lain. Ia bakal membawa Jimin kemana saja dan menggotongnya seperti karung beras. Kadang digendong dengan betul, tapi lebih sering sesuka hati. Jimin pribadi tidak masalah karena kelakuan ini perwujudan dari tabiat Jeongguk yang masih seperti anak kecil kalau tengah berada dengannya. Bermain-main bebas dan penuh tawa. Kiranya bagaimana masa kecil laki-laki jangkung bertaring panjang itu? Jimin jadi penasaran.

"Kalau untuk yang bisa dimakan orang alergi susu, yang mana?"

Lantunan suara ini berbanding terbalik dengan nadanya yang lirih dan cuma sekadar bisikan. Jimin bak disambar petir di tengah ruangan berAC yang full dengan kawan-kawan satu shift nya. Ia kenal suara ini. Aroma segar yang bercampur antara kembang melati dan potongan kelopak mawar menyambangi hidungnya. Tidak salah lagi. Ia benar-benar bertemu dengan sosok yang dihindarinya seumur hidup. Susah payah sampai melompat dari Jawa dan harus meninggalkan apa saja miliknya di rumah. Merantau cuma karena satu faktor: Eunwoo. Dan laki-laki itu berdiri tegap dengan satu lengan sosok lain yang menggantung di tangannya. Bergelayut manja dan tersenyum ikhlas.

Dari ujung kaki, bisa Jimin rasai permukaan kulitnya mendingin. Menjalar sampai ke sekujur badan dan ia mulai menggosok tangan. Saling menyalurkan kehangatan yang entah menguap kemana. Jantungnya bertalu seolah mencoba melompat dan keluar dari rongga sukma. Sisa sarapan di dalam perut juga ikut naik sampai ke kerongkongan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah merunduk, berjongkok, dan bergumam kalau ia tidak apa-apa. Semua bakal baik-baik saja.

"Jimin?" Suara Bambam lewat dari kuping kiri dan keluar lewat kuping kanan. "Jimin!"

Yang mampu Jimin tangkap adalah siluet hitam yang membawa kesadarannya menjauh.

...

"Sudah bangun?"

Terang lampu yang menyapa penglihatan jadi satu-satunya patokan kalau Jimin sudah tersadar. Ia tahu betul kalau baru saja pingsan dan mungkin menyusahkan seseorang yang sekarang tengah menenteng satu koran pagi yang masih dibaca. Dibolak-balik tanpa mau menoleh atau bertatap dengan Jimin yang masih merebahkan diri di gudang barang Transmart. "Jam berapa sekarang?" tanyanya.

"Masih jam tujuh."

Ini berarti sudah dua jam berlalu sejak ia menyaksikan potongan memorinya mencuat jadi kenyataan. Gelombang panik itu mulai terasa merasuk ke sela-sela kulit lagi. Merangkak ke dalam batin dan tanpa sengaja menghipnotis otaknya untuk memberi sinyal supaya menggetarkan badan. Menggigil.

"Kenapa kamu ndak telfon Jeongguk?" Bambam kembali bertanya tanpa menoleh.

"Buat?"

"Waktu panik," jawab Bambam yang akhirnya mendongakkan kepala. "Kenapa kamu ndak telfon Jeongguk waktu panik, tadi?"

Jimin cuma sanggup menggeleng. Rasanya ia sudah banyak merepotkan pemuda yang punya senyum setampan bintang film itu. Terlampau sering ia mengais-ngais kasih yang bahkan sudah dicurahkan untuknya seorang. Aneh. Tubuhnya meringkuk dan mencari-cari kehangatan di atas kasur tipis yang disediakan kantor untuk istirahat sejenak. Tidak pula ia rasai bakal melewati panik ini sebentar. Mungkin bakal berlangsung sampai beberapa hari. Ia tidak bakal bisa tidur, malam ini.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang