PROLOG

2.2K 210 27
                                    

Kereta api jurusan Bandung ke Jakarta telah sampai pada pemberentian yaitu stasiun pasar senen, semua penumpang serentak bergegas untuk turun. Tak ingin ikut berdesakan, pria yang duduk di dekat jendela memilih untuk menunggu sampai semua penumpang turun,  mungkin ia akan menjadi penumpang terakhir yang turun dari gerbong kereta.

Tiga tahun setelah meninggalkan Jakarta, kini ia kembali menapak pada tanah yang akan membawanya pada kenangan lama. Di kota ini,
kota yang menjadi saksi patah hatinya untuk pertama kali.

Dengan tekad yang lebih kuat, mental yang lebih berani ia memutuskan untuk kembali. Pria dengan potongan rambut two block haircut itu
tidak peduli jika nantinya akan kembali di pertemukan oleh sang mantan kekasih, tidak pula takut untuk tidak bisa melupakan. Ia akan memulai semuanya dari awal, karirnya yang sempat berantakan juga ketakutan ketakutan yang mulai hari ini akan ia lawan.

"Maaf Mas, gak mau turun?"

Suara dari seorang kondektur menyadarkan lamunan singkatnya, mengharuskan pria berjaket denim hitam untuk segara beranjak dari tempatnya. Qintaran Biantara Guivar, ia ucapkan selamat pada dirinya sendiri untuk keberanian kembalinya ke kota metropolitan, kota keras yang penuh akan kepalsuan.

Aran melangkah keluar setelah memakai topi hitam di kepalanya, menjadi penumpang terakhir yang turun dari gerbong kereta pertama. Ponsel di sakunya berdering, tanpa lama Aran langung menjawab panggilan dari temannya di Bandung.

"Halo La, gue udah nyampe di Jakarta." matanya mengedar ke penjuru stasiun yang di padati manusia, mencari cari tempat yang akan ia gunakan untuk menunggu jemputan.

"Lo tunggu aja disana ya Ran, ini gue lagi teleponin Aldo tapi gak di angkat angkat. Emang anjing itu anak."

"Apa gue naik angkot aja, takutnya Aldo gak bisa." langkahnya terus berjalan dengan ponsel yang menempel di telinga kanan, sesekali ia melirik kearah jam di tanganya.

"Engga, pokoknya lo tungguin aja. Aldo pasti jemput lo, semalam dia sendiri yang bilang."

"Yaudah, bilangin gue nunggu dia di-" ucapan Aran terpotong lantaran tubuhnya yang tidak sengaja menabrak tubuh seseorang dari arah berlawanan, Aran memejamkan matanya sesaat melihat barang orang yang di tabraknya jatuh berserakan, nasib sial, kenapa pakai acara nabrak orang segala.

"Olla, gue tutup ya teleponya." Aran memasukan kembali ponsel ke saku jaket sebelum akhirnya berjongkok, ikut membatu perempuan yang di tabraknya memungut barang-barangnya. "Maaf ya, tadi aku jalan gak lihat-lihat." Aran berdiri setelah memastikan tidak ada lagi barang yang jatuh.

"Ini bukunya." Aran mengembalikan dua buku yang sempat ia ambil.

"Terimakasih, salah aku juga tadi." perempuan bersurai hitam panjang itu tersenyum hangat, tidak ada gurat kekesalan di wajahnya, ia menganggap bahwa ini juga salahnya yang terlalu asik membaca buku padahal ia sedang berada di peron stasiun.

Senyuman perempuan itu sempat membuat Aran termangu selama beberapa detik, netranya tak berkedip ketika angin dengan sengaja menerangkan tiap helai surai itu. Cantik, satu kata yang ingin Aran ungkap pada perempuan yang tak sengaja ia tabrak tadi.

Aran berlalu menjauh, menepi pada keramaian yang membuat bising kupingnya. Sial sekali ia tidak membawa earphone, dan entah sampai kapan ia harus menunggu Aldo menjemputnya.

"Mas, Mas, tunggu."

Di ujung peron langkahnya terhenti mendengar seruan itu, tubuhnya lantas berbalik dan menatap heran ketika perempuan yang sempat di tabraknya berlari kecil mengejarnya.

"Kenapa Mba? Apa ada barang Mba nya yang hilang?"

Perempuan itu tersenyum menggeleng, tanganya terulur menyerahkan sebuah kunci yang sempat terbawa olehnya. "Punyamu bukan?"

OUR JOURNEY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang