1

1K 189 39
                                    


Seduhan daun teh menjadi pelengkap lamunan sore ini. Di tempat sepi, pria yang akrab di sapa Aran itu duduk di kursi kayu dalam ruangan, hanya berpemandangan hijaunya pepohonan lewat kaca jendela, Aran begitu larut menikmati kesendirian.

Tiga tahun setelah di tinggalkan.
Sepi sunyi tak tersinggahi, hidupnya masih terasa kaku untuk memulai kehidupan yang baru. Menolak setiap orang yang mendekat hanya karena adanya harapan yang tak jelas, terpaku pada patah hati yang belum sepenuhnya terobati.

Bagaimana mungkin Aran berharap pada seseorang yang cintanya sudah berpaling, lebih menyedihkan lagi gadis pujaannya itu sudah termiliki, terikat hubungan yang jauh lebih suci lagi.

Entah sekeras apa semesta sedang menertawakan dirinya yang masih melambungkan doa meminta mantan kekasihnya kembali. Terdengar gila, dan ia memang sudah gila semenjak kehilangan orang yang ia cintai. Ironisnya, dirinya lah penyebab dari perpisahan itu sendiri, ketidakberanian membawanya pada jalan kehilangan. Sungguh, rasanya Aran ingin sekali menyuarakan rasa penyesalan yang teramat dalam ini.

"Masih kepikiran sama orang yang sama?"

Suara dari arah lain menyadarkannya, namun  Aran masih diam, pandangannya masih menerawang memandang lebatnya daun yang bergoyang. Angin bertiup kencang, mungkin malam ini akan turun hujan.

"Gak lupa kan sama tujuan kamu buat balik ke Jakarta?"

Aran melirik sekilas pada pria dewasa yang baru saja duduk di sampingnya lalu menggeleng, "Aku cuma lagi mikir, setelah aku kehilangan dia apakah aku benar-benar kehilangan kebahagiaan?"
Kepulan asap rokok menyapa wajahnya sesaat setelah kalimatnya itu terucap, Aran memejamkan matanya sampai asap itu bener benar menghilang terbawa angin. Orang tua di sampingnya itu bener benar berniat merusak sorenya.

"Kamu sendiri yang mengambil keputusan untuk berhenti berjuang, disaat kamu udah tau rasanya kehilangan baru deh berteriak penuh sesal,
bertingkah seolah olah menjadi yang paling tersakiti, padahal kamu sendiri yang menciptakan rasa sakit itu."

"Aku gak pernah berniat untuk berhenti berjuang, aku cuma-" kalimat menggantung, sampai pada akhirnya Aran mengangguk, tidak mampu menyalahkan kalimat yang barusan ia dengar. Ini memang salahnya, kepergian orang ia cintai di sebabkan karena sifat pengecutnya, hanya saja ia tidak membernarkan jika dirinya berhenti berjuang, kepergiannya waktu itu hanya untuk tenang, walau akhirnya terlambat untuk memperjuangkan cintanya.

"Kalau saja kamu berani menemui orang tuanya waktu itu mungkin sekarang kamu yang jadi Ayah dari anak yang di kandungnya, sayangnya waktu itu kamu masih pengecut, kamu terlalu takut sama apa yang akan terjadi."

Aran menatap pria di sampingnya.

"Wajar gak si aku takut, dia bukan dari keluarga sembarangan. Marga keluarganya masuk kedalam jajaran orang terkaya di Asia, sedangkan aku?" Aran menggeleng, kepalanya menunduk menatap sepatunya yang lusuh, sepatu pemberian sang mantan yang masih saja ia kenakan. "Aku cuma anak yatim piatu yang tinggal di panti sebelum akhirnya di punggut orang tua gila seperti kamu. Di banding sama dia, aku lebih pantas jadi tukang kebun di rumahnya."

"Jadi ceritanya kamu minder? Naif sekali keponakan aku ini. Padahal yang dia butuhkan hanya keberanian kamu menemui orang tuanya, meyakinkan keluarga besarnya bahwa orang yang dia pacari adalah orang yang memiliki jiwa tanggung jawab, tapi yang kamu lakukan malah kabur yang akhirnya membuat dia kehilangan kepercayaan sama kamu."

Aran menarik napas lalu membuangnya, ia lakukan berulang kali agar tenang. Jujur sekarang hatinya merasa terhenyak, sidiran itu berhasil menampar relung hatinya, menyadarkan seberapa pengecut dirinya sebagai seorang pria di masalalu.

"Sayang sekali padahal dulu udah dapet bidadari, cantik, pinter, kaya, gak mandang fisik, eeh malah di lepas."

"Kalau kedatangan Om Vino cuma untuk menertawai aku, mending sekarang Om pergi dan cari janda yang bisa di jadikan istri." Aran menghempas kasar tubuhnya pada sandaran, tanganya bergerak mengusap kupingnya yang mulai panas mendengar semua kalimat menyebalkan itu.

OUR JOURNEY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang