Cahaya Matahari perlahan-lahan meredup. Kabut tipis yang tidak tahu dari mana asalnya mulai memakan seisi pinggiran Kota Nashdirt meski sekarang masih sore hari. Di kursi pengemudi, ayah sudah terlihat sangat lelah akibat membawa mobil tanpa henti sejak jam satu siang. Dia berkali-kali menutup mulutnya yang sedang menguap dengan telapak tangannya yang kasar akibat terlalu sering menanam jagung sambil memijat-mijat daerah di sekitar pelipisnya.
"Sebentar lagi kita akan sampai," ucap ayah singkat. Aku mendekatkan diri pada Andy dan menaruh kepalaku di pundaknya. "Aku lelah, punggungku sakit," keluhku pada Andy dengan suara lemas. Setelah aku berkata demikian, Andy memberikanku mesin pijat kecil yang selalu dia bawa. "Ambil ini dan singkirkan kepalamu." Aku pun mengambilnya sambil memberikan muka masamku. "Thanks."
Perbatasan Kota Nashdirt dan Desa Pyrite telah kami lewati berjam-jam yang lalu. Meskipun begitu, tidak ada banyak pemandangan yang berubah. Sisi kiri dan kanan mobil ini, masih lah dihiasi oleh hutan pinus dengan pohon-pohon yang berdiri sangat berdekatan. Saking dekatnya mereka berdiri, hal itu seakan-akan memerangkap semua hawa dingin dan kegelapan yang seharusnya tersebar dengan rata di Nukah. Aku pun bergidik ngeri tiap kali mataku memandang hutan terlalu lama.
Tak jauh di depan sana, penginapan Pak tua O’learn mulai terlihat. Ayah langsung menepikan mobil dan berakhir dengan memarkirkannya. Guncangan-guncangan yang kurasakan sejak keberangkatan kami akhirnya berhenti. Ibu menjadi yang paling pertama keluar dari mobil, disusul dengan ayah. Sambil mendengus pelan seakan-akan sudah muak, Andy berkata, “Buatlah hari ini cepat berakhir.” Sebelum dia keluar, dia memintaku untuk mengembalikan alat pijatnya yang baru kupakai sebentar. "Kembalikan atau benda itu akan menjadi rusak karena dipakai olehmu terlalu lama." Ingin sekali rasanya aku membuang benda itu keluar jendela, tetapi yang hanya bisa kulakukan adalah mengopernya pada Andy dengan rasa jengkel.
Koper dan segala tetek bengeknya buru-buru ayah keluarkan dari bagasi mobil. Dia seakan-akan ingin segera menenggelamkan badan di dalam balutan selimut hangat yang agak kasar. Suara gemerincing lonceng tanda pengunjung datang langsung berbunyi ketika ayah membuka pintu penginapan ini. Dengan wajah yang lesu, ayah berjalan menuju meja penerima tamu yang kosong sambil membawa tas Andy.
Pak tua O’learn yang tadinya tidak berada di belakang meja penerima tamu tiba-tiba muncul bagai hantu transparan entah dari mana. Dia langsung mengambil dua buah kunci kamar, seperti sudah tahu apa yang kami butuhkan karena kami memang sudah terbiasa menginap di sini. Ibu mengambil kunci-kunci tersebut dari tangan Pak tua O’learn, sementara ayah mengeluarkan dompet jelek dari saku celananya, kemudian membayar dengan tiga lembar uang sepuluh Rulli sebagai uang sewa dua kamar untuk satu malam. Pak tua O’learn pun mengambil uang yang diserahkan oleh ayah dengan agak kasar, kemudian menghitung jumlahnya.
Begitu aku hendak berjalan menuju tangga, Pak tua O’learn memanggil namaku dengan suara yang serak akibat mengisap cerutu selama bertahun-tahun. “Hey Amethyst!” serunya, aku pun membalikkan punggungku agar dapat melihatnya. “Ada apa?” tanyaku datar. “Hati-hati dengan pemerintah, ada kabar burung kalau mereka sedang merencanakan sesuatu dan kali ini ada hubungannya dengan Ignire.”
Aku mengernyitkan dahiku beberapa saat. Pria tua ini ngomong apa sih? “Uh … maksudmu?” ucapku. Dia bangun dari tempatnya duduk, kemudian berjalan ke arahku. Dengan suara yang dikecilkan, dia berkata, “Mereka sedang memburu para Ignire.”
Aku pun terkekeh geli ketika mendengar racauannya. Bagaimana mungkin pemerintah akan mengejarku atau bahkan mencariku. Aku saja bukan pemilik kekuatan itu. Kemungkinan besar berita yang dia dengar juga hanyalah bualan orang di sekitar sini. “Pak tua, aku tahu dan aku mengerti bahwa kau sudah tua, tetapi alangkah baiknya untuk tidak meracau seperti itu. Plus, aku bukan seorang Ignire, jadi aku rasa aku akan aman-aman saja jikalau racauanmu itu benar. Seharusnya kaulah yang berhati-hati,” ucapku meremehkan sambil memberikan senyum tidak ikhlasku.
YOU ARE READING
IGNIRE
FantasyHampir lima abad bangsa Blewi menginvasi Bumi dan memperbudak umat manusia. Darah yang tiap hari kami lihat, menghambat tumbuhnya harapan akan hari esok. Teror yang dibuat oleh bangsa alien ini memang terkesan tidak akan berakhir, tetapi seorang Ign...