Dari cahaya lilin yang hampir saja padam, terlihat sepasang mata Amira yang hampir membola. Tak hanya itu, napasnya tertahan dalam diam dan ada suara bedug terdengar. Seperti Suara bedug menjelang lebaran.
Aksa tersenyum, meraih tangan Amira dan meremasnya. "Ekspresimu sungguh lucu."
"M-mas ..." Amira sangat gugup.
"Aku jadi bisa melihat sisi lain dari kecantikanmu," lanjut Aksa dengan menambah kadar senyumannya.
"Ja-jadi? Jadi ini maksudnya Mas Aksa sedang meledekku?" Amira langsung memahami situasinya. Dan sepasang bibirnya langsung mengerucut, saat Aksa malah tertawa. Gadis itu segera mencubit perut Aksa dengan rasa gemas yang tak bisa tertahan.
Aksa mengaduh singkat, sebelum kembali mengudarakan tawa.
"Aku juga jadi bisa melihat sisi mas Aksa yang lain sekarang," kata Amira dengan melabuhkan pandangan ke wajah Aksa yang terlihat kian tampan dengan tawa lepas begitu.
"Dulu aku sangat kaku?"
"Iya, terlebih kepadaku. Mas gak pernah bercanda. Padahal dengan mas Arka kalian sangat dekat. Aku sampai berpikir kalau aku bukan adik kandungmu."
"Ternyata benar," timpal Aksa segera.
"Tapi pikiran itu dulu sangat menyiksaku, Mas. Aku gak terima dengan apa yang terbersit dalam pikiranku sendiri kalau aku ini bukan adik kandungmu. Tapi, aku cukup bahagia dengan sikapmu yang nunjukin rasa sayang padaku," urai Amira sambil tapak tangannya terangkat untuk mengusap bahu Aksa.
"Sekarang, kau masih ingin jadi adikku?" Aksa menatap terarah.
"Kan barusan aku sudah bilang, ajari aku jadi istrimu." Amira menyisipkan senyum tersipu seiring titik akhir dari kalimatnya.
Aksa merapatkan tubuhnya, meraih kepala Amira dan mencium keningnya. "Pelajaran pertama," ujarnya setelah melepas ciuman. Sesaat menatap Amira sambil tertawa.
"Awas kalau meledek lagi lho, aku udah serius ini," ancam Amira dengan wajah dibuat segalak mungkin. Tapi bagi Aksa wajah Amira dengan ekpresi seperti itu malah kian menggemaskan saja. Tak ayal tangan pun terangkat untuk mencubit pipi istrinya itu.
"Pelajaran pertama." Aksa mengulang ucapannya yang sempat tertunda. "Mulai malam ini, dan seterusnya, kamu akan tidur di kamar ini, bersamaku. Sampai ..."
"Sampai apa, Mas?" Tanya Amira cepat.
"Sampai kita pindah ke rumah baru. Berani?"
Amira langsung mengangguk tanpa merasa perlu untuk mempertimbangkannya lagi. Bahkan ...
"Apa pelajaran kedua?""Pelajaran kedua, besok saja. Sekalian langsung dipraktekkan. Sekarang kita tidur. Ini sudah masuk waktu dini hari. Itu lagi, lilinnya sudah kelap-kelip sakaratul maut."
"Sebentar lagi pasti akan sangat gelap, Mas."
"Apa kamu masih merasa takut?"
Amira menggeleng tegas. "Kan ada mas Aksa," ucapnya sambil senyum.
"Sini." Aksa membuka kedua tangannya siap memberikan perlindungan untuk Amira. Gadis itu segera membawa tubuh ke dalam pelukan Aksa. Terasa damai menjalar dada. Amira diam-diam tersenyum. Merasakan indahnya satu rasa yang tak pernah terbayang sebelumnya. Suamiku, Kakakku. Monolognya dalam hati.
Beberapa saat berlalu. Tidur lena Amira harus terganggu karena rasa geli di wajahnya. Mau tak mau gadis itu membuka mata. Padahal, tidurnya kali ini terasa sangat indah. Lebih nyaman dari pada biasanya. Amira bahkan bersumpah tak ingin terjaga ataupun membuka mata. Karena tak ingin mengahiri indahnya tidur dalam pelukan Aksa. "Mas Aksa." Suara serak Amira mengiringi tatapan galak. Kesal sekaligus kaget. Tapi kembali berubah jadi senang, karena tahu kalau yang mengusilinya itu justru adalah Aksa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku, Kakakku.
Cerita PendekDalam keluargaku, perjodohan adalah hal yang biasa. Bahkan di kalanganku juga, Banyak di antara kami yang menikah karna sebuah perjodohan, dan berakhir bahagia. Tapi perjodohan yang di setujui kedua belah pihak, artinya tanpa adanya pemaksaan. Tapi...