"Ayah."
Genggaman tangannya semakin erat, dengan tubuh yang semakin merapat pada sosok dewasa di sampingnya.
Tubuh kurus itu bergetar hebat, yang untungnya langsung ditenangkan oleh sosok yang tadi dipanggil ayah olehnya.
"Sebentar ya, sayang," lalu, perlahan, bola plastik kotor yang ada tepat di depan kakinya, diambil, dirinya berjalan pelan setelah sebelumnya melepaskan genggaman si kecil yang hampir mengeluarkan air mata.
Tangan yang berbalut jam mahal itu diulurkan dengan bola yang berada pada telapaknya. tubuhnya berjongkok didepan salah satu anak yang posisinya paling dekat dengannya. "Boleh tanya?"
Anak dengan pipi gembil itu melongo menatapnya, lalu anggukan kepala menjadi jawabannya. "Boleh, kak."
"Rumahnya pak rt Theo, di mana, ya?"
Anak itu berbalik menatap kesebelas temannya, lalu mendorong salah satu anak dengan alis camar untuk berada sejajar dengannya. "Dia anaknya, kak."
"Bisa tolong anterin buat ketemu Papa kamu?"
Anak itu mengangguk kecil. Sandal yang ada di bawah pohon kelapa, diambilnya lalu dipakai. Dirinya berjalan menghampiri laki-laki yang tadi meminta bantuan padanya, dan dengan gerakan mata, anak itu seakan mengatakan pada laki-laki itu untuk mengikutinya.
Berbalik sebentar untuk menghampiri anak kecil yang tadi ditinggalnya, laki-laki itu tidak ingin membuang waktunya. Anak itu digendongnya, lantas berlari kecil mengikuti penunjuk jalan untuk pergi ke rumah orang yang dicarinya.
Tidak terlalu jauh, dari lapangan ke rumah pak rt itu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari dua menit berjalan kaki. Sedekat itu memang, karena di kampung ini hanya ada beberapa rumah, satu sekolah, juga satu kantor kepala desa yang menyatu dengan balai kesehatan dengan total enam puluh tujuh jiwa yang meninggali desa ini.
"Duduk dulu, Kak." Anak itu mempersilahkan tamunya untuk duduk di ranjang bambu depan rumah, sedangkan dirinya sendiri masuk ke dalam.
Mengistirahatkan tubuhnya yang cukup lelah, laki-laki itu menurunkan ransel besar yang sedari tadi digendongnya. Anak kecil berusia sekitar enam tahun itu masih ada dalam gendongannya. Matanya sayu, seperti sedang mengantuk. Pundaknya dibiarkan untuk menjadi sandaran kepala si kecil. Jemarinya diketukan pada pegangan kursi dengan tatapan mengedar menatap sekeliling. Lingkungan yang masih begitu asri. Pepohonan tampak menghiasi setiap sudut di desa ini. Di depan rumah-rumah penduduk, ada tanaman obat-obatan. Hingga pintu yang terbuka mengalihkan atensinya. Meski dengan sedikit kesulitan, tapi laki-laki itu berdiri untuk menyambut tuan rumah, tak lupa senyum yang dipamerkannya.
"Dokter Wildan?"
"Pak rt Theo, ya?"
Tangan Theo itu terulur dengan senyuman ramah yang sambut oleh laki-laki yang dipanggil Wildan tadi. Tatapan ketua rt itu beredar, menatap anak kecil yang sedari tadi menjadi perhatiannya. Bahkan, dia tidak percaya kalau dokter baru yang akan bertugas di desanya ini akan membawa seseorang bersamanya, terlebih lagi anak kecil, sebab yang pak Sumanto — kepala desa — bilang, kalau dokter Wildan belum menikah dan tidak mungkin membawa seseorang untuk tinggal bersamanya di desa ini.
"Adeknya tidur?"
Wildan tersenyum canggung. Usapan pelan dia berikan sebab si kecil sedikit terusik dalam tidurnya. "Mungkin kecapekan, Pak."
"Yaudah, yuk saya anterin ke rumah biar Adek sama Mas dokter bisa cepet istirahat."
Menurut, Wildan mengambil ransel yang tadi di simpannya di lantai kayu itu. Mengikuti pemilik rumah yang menuruni tangga depan, dia memakai sepatu hitamnya lagi. Tepukan kecil tak pernah berhenti sedikitpun dipunggung si kecil agar bisa tidur lebih nyenyak, sesekali rambut halusnya dikecup sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion [ON HOLD]
Fanfiction"Katanya, bunga dandelion memiliki makna; kehidupan yang keras, penuh perjuangan, penderitaan namun tetap tegar, sama seperti Antareksa yang selalu tegar dalam menghadapi kehidupan yang keras ini" - Wildan Winata