Desa Sumber Mandiri dan Penduduknya

122 31 2
                                    

"Ayah?"

Wildan yang sedang ngaso di ruang tengah langsung berlari menghampiri si kecil yang sudah terbangun. Mata anak itu memerah menahan tangis, mungkin putranya takut jika ayahnya meninggalnya sendirian.

"Adek kenapa?"

Tidak menjawab, anak yang dipanggilnya dengan sebutan Adek itu menubruk tubuh besarnya dengan isakan yang sudah keluar dari mulut kecilnya. Kemeja tadi siang itu dicengkeram erat hingga menjadi kusut. Pelukannya juga tak kalah eratnya. Anak kecil dengan nama Rendhika Antareksa Winata itu menangis keras hingga membuat Wildan khawatir padanya.

"Adek kenapa, hm? Kenapa nangis?"

"Mau pulang, Ayah."

Bagaimana caranya Wildan mengatakan pada Rendhika jika ini adalah rumah baru mereka? Terbiasa hidup di kota dengan segala fasilitas dan kecanggihan teknologi, kini pasti sulit bagi anak itu untuk beradaptasi dengan lingkungan di desa ini.

"Adek mandi dulu, ya? Nanti kita makan malem bareng."

Anak itu masih belum menghentikan tangisannya. Bagaikan balita yang sedang mengamuk, Rendhika menjambak rambut Ayah nya, membuat laki-laki itu sedikit memekik kesakitan karena sungguh, jambakan anak itu tidak main-main. Rasa sakitnya sungguh luar biasa sampai Wildan merasa jika kepalanya akan terlepas dari leher.

Tangan Rendhika dipegang erat agar tidak terus berontak. Kepala anak itu di dongakan untuk menatap netra tajamnya. "Antareksa, dengerin Ayah," mulainya, "Adek bilang sama Ayah kalo Adek ngga mau sekolah disana gara-gara terus diejek sama temen-temen. Disini, Adek bakal punya banyak temen baik. Mereka ngga akan ngejek Adek," begitu ucapnya.

Penuturan itu membuat Rendhika sedikit lebih tenang. Tangisnya perlahan mereda, hanya tinggal isakannya saja yang tersisa.

Efek dari menangis, rambut anak itu jadi lepek, dengan keringat yang membanjiri tubuhnya, juga air mata yang masih sedikit mengali dari matanya. Wildan mendekap anak itu erat, merapalkan ribuan kata penenang agar Rendhika bisa mengerti keadaan. Hingga suara pintu yang diketuk mau tak mau membuat Ayah satu anak itu bangkit dari duduknya.

Pintu kayu itu dibukanya, menampilkan sosok jangkung dengan seorang anak yang bersembunyi dibalik kakinya dengan wajah malu-malu.

"Mas dokter baik-baik aja? Saya denger ada yang nangis-nangis tadi."

Kening dengan peluh yang membasahi wajah anak itu diusap dengan senyum kecil yang terpampang di wajah tampannya. "Maaf kalo mengganggu. Anak saya lagi rewel."

Mata laki-laki itu membulat, merasa tidak percaya akan penuturan orang baru di depannya ini. Anak? Yang benar saja, pak rt bilang jika dokter baru yang akan tinggal di desa ini masih single, lalu kenapa orang ini malah mengatakan jika anak kecil itu adalah anaknya?

"Bukannya mas dokter itu single ya?"

Wildan tertawa pelan. Dalam hati, ia membenarkan ucapan orang ini. Iya, Wildan masih single. Seumur hidupnya, dia belum pernah menikah sama sekali.

Tidak ingin mengungkit masalah pribadi, laki-laki yang menjadi tetangganya itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. "Mau kenalan, Mas? Saya tetangga barunya Mas. Nama saya Jingga."

Mau tak mau, Wildan menerima uluran tangan putih itu, "Wildan."

"Mas dokter kalo butuh sesuatu tinggal ketuk pintu rumah saya aja, mungkin saya bisa bantu."

Selain desa yang begitu indah, ternyata penduduknya juga ramah. Meski mungkin hidupnya tidak akan mudah untuk dilalui, tapi Wildan yakin jika dirinya akan betah untuk tinggal di sini. Hanya tinggal membuat Rendhika akrab dan nyaman berada di tempat ini saja.

Dandelion [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang