Home?

1K 109 84
                                    

Seokjin

Sebuah tulisan yang dirajut dengan benang berwarna putih berada dibagian paling bawah salah satu sobekan yang kini berada di kedua tangannya. Ibu jarinya mengusap lembut dengan kedua mata berkaca-kaca dan dada sesak karena menahan tangisnya.

Ternyata nama Seokjin miliknya, dari Ibunya sendiri. Ternyata nama itu juga hal terakhir yang Soo Hee berikan sebelum ia lahir ke dunia ini. Selain sweater merah yang terbelah di tangan kanan dan kiri. Rasanya benar-benar perih, ketika ia harus menerima kenyataan tidak seperti anak-anak lainnya yang memilikI kedua orang tua yang selalu mendekap setiap hari. Miliknya memang lengkap, tetapi tidak sempurna. Ia memiliki sepasang, tetapi terasa asing untuknya. Mungkin ia termasuk orang yang tidak pandai bersyukur, karena menurut orang lain, dia memiliki segalanya. Rumah besar nan mewah, kekayaan melimpah, Ayah yang tampan, Ibu yang cantik, kedua saudara laki-laki yang menurut orang lain akan selalu menjaganya. Nyatanya, itu semua kepalsuan yang ia selalu ia genggam bersama kesepian.

Sebelum Seokjin diberikan kesadaran untuk menyentuh tangan Ibunya, ia harus kehilangan sosok yang ia tidak jumpai. Seseorang yang seharusnya ia miliki, pergi tanpa bisa ia peluk atau sekedar memanggil namanya, Eomma.

Air matanya perlahan menetes. Semakin deras, dan semakin terisak. Ia memeluk sweater itu dengan erat. Sesekali memukuli dadanya yang terasa sesak karena kesulitan bernapas. Suara tangisnya bisu dan pilu, membuat siapa saja tak akan mampu menguping untuk mendengarnya. Jeritan dari mulutnya sunyi, ditelan ruangan kamar temaram yang hanya tersinari cahaya bulan diluar jendela yang terbuka.

Han Soo Hee sosok nyata tetapi juga fana. Yang ia sebut sebagai Ibu tetapi sudah menjadi abu.

Seokjin merebahkan kepalanya yang terasa berat diatas bantal putihnya. Air matanya terus menetes sambil memeluk sweater merah itu dengan erat. Haruskah malam ini ia berteriak? Atau cukup terisak? Rasanya hidupnya sungguh merana. Selain tidak punya seseorang yang selalu disisinya, ia juga sering sendirian selama hidupnya. Beberapa orang mungkin berada disampingnya, tetapi ia tak pernah bisa berbagi cerita dengan leluasa. Suaranya diredam, jeritan pedih dihatinya dibungkam.

Sebelum kantuk merenggut seluruh kesadarannya, ia mengusap wajahnya dengan tangan kanannya yang bergetar. Menarik napas panjang dan membiarkan tubuhnya berisitirahat. Didalam benaknya, sweater merah yang ia peluk cukup memberikan kehangatan dipeluk Soo Hee yang tak pernah ia rasakan dengan nyata.







Seseorang meremat knop pintu pada daun pintu yang sedikit terbuka. Bibirnya terkatup rapat sambil mendengarkan suara isakan pelan yang membuat dadanya ikut sesak. Ada dorongan dalam dirinya yang menginginkan untuk tak tahu diri dan menerobos masuk ke dalam. Memeluk, memberikan belaian punggung pelan pada tubuh yang bergetar. Namun, egonya sangat tinggi hingga tak bisa menunduk hanya untuk turun satu anak tangga. Wibawanya sebagai sosok kuat dan tanpa belas kasih harus tetap ia junjung tinggi sampai waktu yang tak menentu. Seperti saat ia menahan tangisnya sendiri, setelah beberapa tahun yang lalu tersedu.

Jungkook menelan ludahnya pelan. Kedua telinganya sudah tidak menangkap suara tangisan Seokjin lagi. Ia memberanikan diri untuk mendorong daun pintu itu lebih kedalam. Menapak pelan dengan kedua kakinya yang tanpa mengenakan alas kaki. Dadanya terasa diremat, ketika melihat kembali sweater merah yang dipeluk Seokjin terbelah karena ulahnya. Ia menarik selimut hingga menutupi bahu Seokjin. Menoleh ke belakang untuk memastikan heater ruangan itu telah menyala dengan baik.

Wussh.

Tiba-tiba bulu halusnya meremang karena tiupan angin malam yang begitu dingin menampar permukaan kulitnya yang hanya terbalut kaos abu-abu oversize dan celana panjang berwana putih tulang.

A WRONG STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang