TeaFlavin

252 27 2
                                    

Aku menyodorkan lipatan handuk, tetapi pria yang sudah sah menjadi suamiku justru melengos. Diambilnya kain bersih dari tanganku tanpa menoleh ke arahku, lantas ia masuk kamar mandi. Seketika kudekatkan beberapa bagian tubuhku ke hidung, kuendus-endus.

Apakah aku bau?

Kenapa sikap Laut Aru, suamiku itu, mendadak dingin?

Aku terduduk perlahan di bibir ranjang yang penuh helai-helai mawar merah. Wanginya lembut dan romantis. Seharusnya bisa memantik sesuatu di dalam diri sepasang pengantin baru. Namun, kenyataannya sungguh ironis.

Aru keluar dari kamar mandi ketika aku baru selesai mengetikkan pesan pada temanku, menanyakan apakah selama ini aku punya bau badan, dan tak seorang pun berani memberitahuku.

Aku sontak berdiri ketika Aru melangkah dengan separuh tubuh terlilit handuk. Badannya menguarkan wangi sabun dan sampo yang segar. Dia membongkar tas dan berganti pakaian tanpa merasa rikuh, sementara aku yang harus susah payah membuang muka. Selanjutnya ia sudah sibuk mengemasi barang ke dalam tas carrier.

“Mau ke mana?” tanyaku penasaran.

“Gunung Sumbing.” Lelaki itu menjawab dengan tetap fokus pada perlengkapan mendakinya. Sontak aku menghela napas. Masih tidak sanggup memahami situasi ini.

“Serius? Ini malam pertama kita, Ru.”

“Ya terus? Apa yang kamu harapkan di malam pertamamu?”

Mulutku spontan terkatup.

“Terengah-engah? Keringetan? Ya ini makanya aku mau pergi muncak.”

Aru memberi pejelasan dengan begitu enteng seakan ia baru saja membeberkan fakta kalau Wall’s punya varian rasa es krim terbaru.

Egoku tidak terima dengan perlakuannya yang menganggapku seperti seonggok daging busuk.

Spontan kutekan dadanya hingga membentur tembok. Dia hanya menatapku datar. Aku balas menohokkan pandangan tepat pada dua bola hitamnya. Lalu mengatakan kalimat dengan suara penuh tekanan.

“Kamu nggak bisa bersikap kayak gini!”

“Kenapa?” Dia menyunggingkan senyum menjengkelkan. “Beneran kamu mau sibuk malam ini? Bukannya kamu udah biasa?”

Mataku lantas mengerjap. Mulutku kaku saking terkejut. Untuk selanjutnya aku tidak mengira Aru mampu mengatakan hal itu. Apakah dia menuduhku terbiasa melalukannya bahkan ketika aku belum menikah? Ya, rencana pernikahan kami memang terbilang cukup singkat. Tetapi sungguh, aku tak menyangka dia akan bersikap seperti ini.

Pasti telah terjadi kesalahpahaman.

Aru menyentakkan tanganku hingga dia terbebas dari belengguku. Dia membetulkan kausnya yang sempat berantakan, mengangkat carrier, lalu menyangklongnya. Aru membuka pintu, sebelum melangkah keluar ia merogoh benda kecil yang ia lempar ke atas ranjang penuh kelopak mawar.

“Itu kunci kedai.”

Dan pintu kamar pun tertutup rapat. Aku duduk termangu, terkurung sendiri dan kesepian di dalam ruangan indah dengan berbagai pikiran melayang. Beberapa detik aku baru tersadar ketika ponsel di Kasur bergetar. Kubuka pesan dari teman yang tadi kuhubungi.

[Nggak, Kia. Kamu sama sekali enggak bau badan! Gila aja ape? Wangimu enak! Kenape? Aman aja kan, Non?]

*

Sesuai titahnya, aku pun pulang esok paginya. Aru punya kedai teh bernama TeaFlavin di salah satu sudut Kemang. Abahnya punya pabrik pengolahan minuman teh. Mereka hanya bagian produksi saja. Perusahaan lain yang lebih besarlah yang mengemasnya, ada yang dijadikan minuman botol, botol plastik, kaleng, gelasan, bahkan dikemas di dalam kotak.

Pengantin Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang