Kapadokia

141 22 2
                                    

“Bagiku, menikahimu demi kebebasan! Biar Ummi sama Abah ngasih izin aku tinggal sendirian. Ya, maksudnya tinggal sama kamu, tapi aku nggak bakal rungsing menganggap kalau kamu ada, nyata, bisa disentuh,” ujarnya seolah memberi garis tegas pada hubungan kami.

Aku berusaha meredam gejolak di dadaku. Tak bermaksud menyela kalimatnya. Aku lebih penasaran dengan apa yang terjadi pada pernikahan ini.

“Pokoknya nggak usah sok dekat! Kecuali kamu mau aku pulangkan ke rumah mamamu.”

Jujur saja, tidak ada yang betah tinggal dengan mamaku. Dia seorang pengeluh sejati. Semua hal dia keluhkan. Termasuk hadiah yang anaknya berikan. Kalau hadiah saja dikeluhkan, jangan tanya bagaimana dengan hal-hal menyebalkan seperti piring pecah atau kaki terantuk ujung pintu.

Jadi pernikahan ini sebenarnya juga salah satu upayaku untuk bisa hidup di luar lingkaran mamaku. Dia dengan sangat jujur dan terbuka mengaku tidak tahan lagi tinggal denganku. Aku tidak sakit hati dengan pernyataannya. Ketika masih remaja dulu, dia selalu gagal mendapatkan beasiswa ke London, Perth, juga Toronto. Padahal impian mamaku sejak dulu ialah bisa kuliah di luar negeri. Mungkin latar belakang itu yang membentuk pemikirannya jadi agak kebarat-baratan, tetapi di satu sisi juga ‘sangat’ timur.

Atau murni karena memang mamaku tipe yang tidak suka diganggu? Dia begitu menyenangi suasana hening, dengan pintu-pintu rumah yang selalu tertutup. Mamaku tidak tahan mendengar tangisan bayi atau rengekan anak-anak. Jadi ketika papaku meninggal di usia empat puluh lima tahun, tampaknya Mama tidak butuh waktu lama terlarut dalam sedih dan duka.

Di kepala Mama, seharusnya aku sudah keluar rumah setidaknya sejak mulai kuliah. Tetapi karena dia merasa terlalu berhati besar, sehingga Mama membiarkanku menjadi bebannya hingga wisuda S1. Aku pindah ke Bekasi, bekerja di bagian keuangan di pabrik Pak Rahman yang sekarang menjadi ayah mertuaku. Tapi aku resign tiga bulan lalu lantaran merasa badanku jadi gampang masuk angin, terutama kalau menjelang haid. Aku kembali ke rumah Mama di Semarang, tetapi dia tidak berhenti mengeluhkan kondisiku. Gadis dua puluh enam tahun yang pengangguran–dan melajang.

Ketika masih bekerja dulu, aku cukup sering berinteraksi dengan Pak Rahman. Pada satu kesempatan, kami banyak mengobrol tentang latar belakangku, juga anak lelakinya yang masih singel, yang hobinya kelayapan ke gunung. Sampai akhirnya tersibak lah kenyataan bahwa aku dan Aru pernah satu sekolah di salah satu SMA di Jakarta.

Sampai suatu ketika, Pak Rahman semakin kesal karena kedai teh anaknya diambang kehancuran. Dan ide pernikahan ini bermula. Aku akan menjadi istri yang mengelola kedai teh suaminya–kukira. Selama proses penjajakan yang hanya beberapa kali bertemu, ditambah Aru tidak terlalu ingat aku–yang jelas dia tidak sedingin ini, lelaki itu hanya patuh pada setiap permintaan sang ayah.
Aru setuju menikah asalkan dia diizinkan untuk tinggal berdua saja denganku. Dan dia tidak ingin orang tuanya ikut campur dalam rumah tangga kami.

Pak Rahman mengira jika anaknya telah menikah, Aru akan berhenti naik gunung. Dan aku sendiri mengira, Aru ingin menata ulang hidupnya, bisnisnya, termasuk menyelipkanku ke dalam rencana masa depannya yang baru.

Ternyata, Aru masih tetap Aru.

Dia hanya ingin dibiarkan saja, tanpa tali pengekang.

Tapi, entah kenapa sikap Aru yang seperti ini justru membuatku penasaran. Aku cukup suka tantangan, jadi aku tertantang untuk tahu sejauh apa sikapnya akan melunak.

Namaku Kapadokia, orang-orang biasa memanggilku Kia.

Papa memberiku nama yang diambil dari daerah di Turki yang penuh batu-batuan.

Papa mau anaknya sekuat itu.

*

“Apa maksudmu bilang kalau aku sudah biasa melakukannya? Kamu menuduhku tukang zina?”

Aku teringat tuduhan Aru di malam pertama kami, jadi langsung kutanyakan padanya.

Siapa tahu sikapnya yang menjengkelkan murni terjadi karena kesalahpahaman.

Aru memandangku sejenak, lalu mengalihkan tatapan.

“Kamu boleh saja berbuat seenaknya, tapi tuduhanmu itu sumpah, berengsek banget!”

Tiba-tiba pintu diketuk, membuat kami serentak menghadap papan kayu berwarna hijau skandinavia itu.

Aku mendesah dan berdiri, berjalan untuk membukanya. “Ada apa?” tanyaku terdengar sewot ketika mendapati wajah yang selama seminggu belakangan itu seakan selalu menelisikku.

“Ini, Bu, bawain teh buat Mas Aru.”

“Mas?” ujarku tak percaya. Dia memanggilku dengan ‘Ibu’ dan menyebut suamiku dengan ‘Mas’. Oh, luar biasa. “Dia sudah kubikinkan teh.”

“Iya, Nita tahu, tapi Mas Aru, eh Pak Aru biasa minum teh bikinan Nita. Tehnya pakai gula batu, nggak diaduk, kalau mau minum baru digoyang sedikit.” Ketika mengatakannya, pipi Nita sempat bersemu. Ia juga melirik pada Aru yang masih terduduk di kasur.

“Aku tahu. Aku punya ibu mertua yang sudah mentutorku langsung, Nita. Mulai sekarang kamu nggak perlu repot-repot mikirin teh buat Pak Aru.”

“Ta-tapi, Bu, Nita kan pegawainya. Nita akan dengan senang hati ikut mengurusi Mas Aru.”

Aku mendesah seraya memutar bola mata. “Kecuali kamu masih bersikap menyebalkan, kamu bisa saja kupecat sekarang!”

“Ta-tapi Bu Kia, Nita sama Pak Aru sudah–”

Kudorong paksa pintu hingga tertutup. Di luar masih terdengar omelan gadis remaja itu. Aku meletakkan tangan ke kening.

Kutatap pria itu yang hanya mengedikkan bahu.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengantin Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang