"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni." -Sapardi Djoko Damono
Aku sudah menonton film Hujan Bulan Juni dua kali di tahun 2020 ketika usiaku masih 16. Sebelum aku menonton filmnya dan bahkan belum juga membaca versi novelnya aku malah bertanya tanya memangnya kenapa kalau hujan di bulan Juni? Apa yang salah dengan turunnya hujan di bulan Juni? Toh, hujan di bulan Desember saja biasa-biasa saja kok. Malah aku lebih senang hujan turun di bulan kelahiranku. Ucapku tengil sebelum aku menonton film Hujan Bulan Juni.
Tahun lalu kurasa tidak ada hujan di bulan Juni, hanya ada panasnya matahari dan membuat tubuhku sering mengeluarkan keringat sambil meminun minuman dingin agar hausku hilang. Setauku juga ketika aku masih bersekolah di SMA, hujan tidak turun pada bulan Juni. Pada umumnya Juni memang telah memasuki musin kemarau. Tapi Juni di tahun ini berbeda. Tak ada lagi oren dan biru ketika aku memandang langit. Hanya ada langit abu yang mendung. Hujan berjatuhan setiap kali aku ingin melihat birunya langit. Aku ini aneh ya, katanya aku akan senang kalau hujan turun di bulan kelahiranku???
Ternyata memang benar bahwa, "Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni". Juni di tahun ini hujan berjatuhan yang di mana tetesan hujannya saling bertengtangan. Jika boleh jujur, aku sedang dalam perasaan yang abu-abu untuk hujan di bulan juni tahun ini. Beberapa hari lagi Juni akan berakhir, apakah aku dapat melihat langit biru kembali? Apakah aku dapat melihat sedikit warna oren yang cerah pada bulan Juli nanti? Aku berharap begitu.
Sebelum bulan Juni berakhir aku ingin menyaksikan langit abu dan memutarkan lagu abu beribu-ribu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY DO I CRY?
Non-FictionPerlahan-lahan aku kembali ke tempat gelap yang sedari dulu aku berjuang keras untuk keluar. Bolehkah aku mengangis lagi? Mendengarkan lagu sedih lagi? Menyendiri dan tidur lagi tanpa ingin merasakan nikmatnya rasa-rasa terbaru dari ind*mie goreng...