32. Mengais Validasi Atau Hanya Ambisi?
***
Jerdian dan Juandra duduk berdampingan. Jerdian dengan posisi duduk sila, sedangkan Juandra memeluk kedua lututnya yang ia tekuk. Setelah rampung mengisi perut mereka, tiba-tiba ada satu topik pembahasan yang sangat sensitif. Ketika ego dari masing-masing mereka kembali muncul ke permukaan, apalagi saat Juandra membahas soal rasa iri dan ketidak adilan yang cowok itu rasakan.
"Gue nggak pernah kebayang, kejadian kayak gini ada di dalam alur kehidupan gue."
"Gue iri sama lo. Iri banget," lanjut Juandra seraya menghela napas berat. Cowok yang duduk di sampingnya pun mengernyit bingung. Ia sudah bisa menebak, malam ini akan terjadi adu mulut di antara keduanya.
"Hidup lo hampir sempurna, sebelumnya. Apa yang bisa lo iri-in dari gue?"
"Itu artinya, akting gue buat punya hidup yang sempurna, berhasil dong. Pada akhirnya, ayah nggak bener-bener serius sama semua ucapannya ke lo. Semua barang-barang kesayangan lo masih utuh di sini, bahkan lukisan lo yang pernah ayah bakar, itu cuma duplikat. Aslinya, ayah simpen baik-baik. Bahkan motor lo yang di titip ke tante, itu juga di rawat biar selalu bersih. Sedangkan gue apa? Ini nggak adil, Jer."
"Nggak usah bahas keadilan sama orang yang nggak pernah di perlakuin adil," bentak Jerdian. Suasana seketika mencekam. Jerdian benci mendengar orang yang hanya sibuk membanding-bandingkan. Dan parahnya, malam ini, pelaku utamanya adalah kembarannya sendiri, Juandra.
"Tapi, ini emang nggak adil. Lo nggak pernah tahu rasanya nutupin muka pake bantal cuma buat meredam tangisan. Lo nggak tahu, setiap pagi, gue harus berlagak layaknya aktor yang sedang memerankan kehidupan paling sempurna. Lo nggak tahu, gimana rasanya waktu gue ada di satu titik, dimana gue minta Tuhan buat ambil nyawa gue detik itu," papar Juandra dengan menggebu-gebu. Napasnya naik-turun, seperti habis lari marathon. Kali ini, ia memaksakan diri untuk meluapkan segala sesuatu yang selama ini mengganjal dalam hatinya.
Hening. Jerdian bingung harus memberi respon seperti apa, sedangkan Juandra yang baru kelar menyampaikan unek-uneknya hanya bisa menatap kosong ke arah langit-langit rumah. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk mengukur siapa yang paling terluka.
Juandra berpikir jika selama ini, dirinya lah yang mengemban tugas paling banyak. Menuruti segala ambisi ayahnya untuk selalu jadi yang terbaik. Di tuntut untuk mengerti bahwa dia dan kembarannya memiliki porsi hidup yang sama, padahal nyatanya tidak. Dia merasa sedang mengkhianati dirinya sendiri. Berlagak baik-baik saja, padahal fisik dan batinnya hampir hancur lebur.
Sedangkan yang ada di pikiran Jerdian, dia merasa kalo dirinya adalah bukti nyata dari ketidak adilan semesta. Berawal dari ayahnya yang selalu membanding-bandingkan dirinya, membuat ia jadi malas untuk melakukan yang terbaik, toh pada akhirnya ayahnya selalu mengira jika Juandra lebih unggul. Mungkin kembarannya berpikir kalau itu memang fakta yang benar adanya, tapi tidak kah Juandra tahu bahwa Jerdian kerap kali terluka dengan kalimat pedas yang ayahnya lontarkan. Mati-matian ia menyadarkan dirinya untuk tidak membenci sang ayah, meski hati kecilnya ingin. Ia lelah, sangat lelah malah. Bahkan, kalau semesta bisa memberinya pilihan untuk bisa terlahir kembali, maka ia akan memilih itu, karena hidup menjadi Jerdian, sungguh membuat dirinya sendiri muak. Tiba-tiba, pikirannya mengingat Jerdian cilik. Dimana, ia mendapat sebuah kalimat yang dari sang bunda yang baru bisa ia mengerti sekarang.
'Kalo tidak melelahkan, bukan hidup namanya. Main-main juga bikin capek kan? Jadi, sebisa mungkin, atur energimu baik-baik.'

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Sudah Terbit)
Roman pour AdolescentsJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...