Asap dan Api : Bagian 1

68 19 55
                                    

Kulihat api membara di Ufuk Selatan kota Mindanao, kota kedua terbesar di Filipina. Suara jeritan dan tangisan manusia terdengar dari segala penjuru mata angin. Jalal terus memegang erat tangan ku, Jalal sudah 5 tahun diam bersamaku sejak ibu dan ayahnya mati di kecelakaan kapal, hari itu terakhir kalinya ku lihat Jalal menangis. Jalal waktu itu berusia 10 tahun, aku satu tahun lebih tua darinya.

Potter Jalal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Potter Jalal

Tiga hari lagi perayaan ulang tahunku yang ke 16 akan dilaksanakan, ibu dan keluargaku sibuk sekali menyiapkan makanan dan tempat pesta, ulang tahun ke 16 merupakan ulang tahun yang penting bagi gadis muda suku Moro menandakan kedewasaan mereka. Suku Moro merupakan suku yang bermayoritas muslim, pemerintah Filipina sangat tidak menyukai keberadaan kami yang dianggap sebagai para pengkhianat dan pemberontak.

Aku dan ibuku sering dijauhi oleh orang-orang desa, ibuku yang merupakan simpanan dari seorang walikota di-cap sebagai pengkhianat oleh orang-orang suku kami. Sehari-hari Jalal yang menemaniku sejak kepergian orang tuanya Jalal menjadi sulit mengeluarkan ekspresi bahkan hanya untuk tertawa. Dikala anak-anak desa mengangguku Jalal selalu mengusir mereka.

Namun nampaknya perayaan ulang tahunku tak akan terlaksana, derap kaki langkah tentara terdengar dari kejauhan Jalal yang sedari tadi diam disebelahku kini mulai bangun dan menarikku. "Ayo, kita harus cepat!" bisik Jalal kepadaku, tidak ada rasa takut dan goyah dalam suaranya. Aku hanya bisa mengangguk, kami berdua berlari kedalam hutan secepat yang kami bisa. Dari dalam rimbunnya hutan kudengar suara tembakan dari kejauhan. Tentara itu sedang memburu kami dan penduduk desa, kami hanya bisa terus berlari seperti binatang liar yang diburu.

Setelah lima belas menit berlari, Jalal berhenti "Tahan ada orang didepan!" bisik Jalal. Kami berdiam diri dan bayangan itu terus mendekat, Jalal mengambil batang kayu yang ada di dasar hutan. Ketika bayangan itu mendekat aku mengenali figur sosok yang tidak asing itu "Paman? Paman Isnu?" suaraku gemetar dan nyaris seperti berbisik. "Annisa? untunglah kalian selamat, dimana ibu dan bibimu Annisa?" tanya paman kepadaku. "Mereka pergi kepasar tadi pagi dan sekarang aku tidak tahu." jawabku.

Paman langsung lemas dan terlihat sedikit kecewa menghadapi kemungkinan bahwa istrinya bibi Salma dan ibuku mungkin telah tiada, Jalal menghampiri paman dan mencoba menenangkan paman, paman kemudian mengajak kami pergi "Disana ada orang-orang desa yang berkumpul." tunjuk paman ke kedalaman hutan.

Sesampainya kami di tempat kumpul sementara itu banyak mata tertuju pada kami dengan perasaan yang was-was takut kalau seandainya yang datang adalah tentara Filipina, sebagian bahkan melihatku dengan wajah tidak suka. Bayangkan ditengah kesulitan, musibah ini masih sempat-sempatnya mereka menghinaku. Hari mulai menjelang malam matahari mulai bersembunyi, orang-oramg desa yang selamat kian berdatangan. Namun tidak ada tanda-tanda ibu dan bibi Salma, paman semakin gelisah sorot matanya kosong menatap hutan berharap akan istri tercintanya untuk datang dari arah desa.

Pak Ali seorang tetua suku Moro naik dan berdiri diatas sebuah kayu, ia berteriak "Wahai wargaku alangkah baiknya kita mulai beribadah dan berdoa hari mulai dekat waktu maghrib, kemudian kita akan pergi dan berjalan bersama-sama menjauh ke arah pelabuhan!" ujar Pak Ali. Pak Ali memang terkenal dengan kebijakannya dan juga jiwa kepemimpinan yang tinggi, ia sering memimpin warga desa dalam protes kepada pemerintah Filipina.

Seperti yang dikatakan Pak Ali begitulah dilakukan oleh mereka, mereka terpaksa mencari alas seadanya untuk melaksanakan sholat seadanya. Paman dan Jalal juga melakukan hal yang sama mereka para laki-laki akan duduk di depan, maka berpisahlah kami. Aneh rasanya sujud di Tanah dengan alas daun pisang dan kayu, setelah sholat yang dipimpin oleh Pak Ali usai kami semua mulai beranjak. Perempuan-Perempuan desa mulai berkumpul dan mereka berdiskusi siapa saja yang kira kira selamat dan siapa saja yang telah tiada. Ditengah obrolan itu beberapa diantara mereka datang kepadaku dan berkata "Kenapa pengkhianat sepertimu selamat? dimana ibumu? wanita orang filipina itu?" perkataan mereka begitu menohok, sakit rasanya hatiku.

Jalal datang dan mengusir para perempuan itu "Apa yang mereka katakan kepadamu? apakah mereka menyakitimu?" tanya Jalal. "Aku tidak apa-apa, secara fisik aku sehat-sehat saja. Namun tidak dengan hatiku Jalal, aku kesakitan!" ujarku kepada Jalal. Jalal segera memelukku, pelukan Jalal terasa hangat ditubuhku padahal kami sedang berada ditengah hutan dalam dinginnya malam.

Pak Ali dan beberapa bapak-bapak lainnya, termasuk paman sedang berdiskusi apakah kami harus bergerak atau tidak. Setelah berembuk sejenak mereka berkesimpulan untuk bergerak dalam kelompok berisikan lima orang. Dalam kelompok kami ada Paman, Jalal, aku, Ibu miftah, dan anaknya yang masih berusia lima tahun. kami kemudian segera berjalan mengikuti rombongan-rombongan lainnya menuju Suru sebuah kota yang juga termasuk bagian dari suku Moro.

Satu jam perjalanan di dalam hutan kami semua sudah kelelahan, paman dan Jalal yang menebas kerimbunan hutan bersama dengan pria-pria lainnya juga mulai kelelahan. Mereka memutuskan untuk berhenti dan mencoba mencari makanan, sebuah kelompok pria-pria muda dikirim untuk mencari makanan. Di daerah filipina binatang hutan yang dapat ditemukan hanyalah trenggiling, babi hutan ataupun ayam hutan. Mereka kemudian pergi membawa sebuah senter dan sebuah lentera, Jalal yang akan pergi melirik kepadaku mulutnya berbisik "Tunggu aku." Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.

Mereka pergi sekitaran satu jam, namun rasanya mereka sudah pergi begitu lama, salah satu dari kelompok berburu tadi kembali dengan luka tembak di bagian perut. Wajahku langsung pucat pasi, kepanikan terjadi di antara warga. kemudian paman, Jalal dan 3 orang lainnya kembali tanpa terluka mereka berhasil kembali dengan selamat. Berceritalah mereka bahwa tentara filipina mendekat dan mengejar mereka ternyata menelusuri jejak yang kami buat.

Desas-desus kepanikan terjadi, Pak Ali segera menenangkan warga "Yang muda dan kuat akan membantu yang tua, Ayah akan menggendong anaknya di pundak sembari menarik istrinya, apapun yang terjadi kita harus terus bergerak , saya dan pria-pria lainnya akan membuka jalan menembus hutan, apapun yang terjadi kita dan anak-anak kita akan selamat hari ini."

Kerumunan orang desa menjadi sunyi, mereka kemudian berkumpul dan mulai maju masuk ke dalam hutan, banyak yang bersemangat dan meyakini kita akan selamat. Padahal aku tahu betul kota Suru masih berjarak 4 kilometer, jarak yang pendek memang namun akan sulit ditempuh melalui rimbanya hutan. Paman dan Jalal dengan segera menarik tanganku maju dan melangkah mengikuti warga desa.

Malam ini akan menjadi malam yang panjang dan melelahkan, dengan tertatih-tatih kami berjlan tua maupun muda. Melarikan diri dari kejaran manusia-manusia hina itu, kulihat ekspresi wajah Jalal tidak sedikit menunjukan kelelahan wajahnya masih mengeras seperti Jalal yang biasa ku kenal dingin dan tanpa ekspresi. 

Cerirta ini murni karangan belaka namun berdasarkan beberapa cerita sejarah.

Kontak penulis

IG: stef4n_ren

email: adekariggk

Langkah Kaki AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang