Asap dan Api : Bagian 2

39 19 56
                                    

Aku sudah tidak kuat lagi berjalan kurasakan kulit tapak kakiku mulai melepuh, memakai alas kaki ini sakit sekali rasanya. Jalal yang menyadari aku kesakitan mulai bertanya "Annisa kau butuh bantuan? kakimu mulai sakit? ingin ku gendong?" tanya Jalal was-was. Aku tidak ingin menjadi beban bagi Jalal sudah 3 jam kami berjalan maju masih ada  2 sampai 3 jam lagi perjalanan agar kami dapat sampai di wilayah Suru. Kupaksakan saja kakiku berjalan kedepan walau sangat tertatih-tatih. Jalal yang melihatku tidak sanggup lagi langsung mengangkatku, aku dipikulnya seperti sekarung jagung yang biasa ia panggul di pasar.

Wajah dan ekpresi jalal tidak menunjukan perubahan tidak ada gerak dari bibirnya, mukanya persis membeku dengan ekspresi yang sama setiap kali aku melihatnya. Entah kenapa muncul rasanya ingin melihat ekspresi Jalal ketika ia tersenyum, ah benak ku ini mulai berangan-angan. tanpa sadar aku mulai mengantuk semua tekanan ini membuat ku ingin tertidur, namun aku terus menjaga agar mataku tetap terbuka. Setelah menggndong ku selama satu jam Jalal mulai kelelahan langkah kakinya mulai terasa berat, aku memaksa turun dari pundak Jalal aku memutuskan kembali berjalan kaki walaupun rasa sakit masih menghiasi telapak kakiku.

Setelah melanjutkan perjalanan akhirnya tempat tujuan kami terlihat Kota Suru, cahaya lampu penerangan rumah dan jalanan mulai terlihat. Ah... akhirnya perjalanan yang melelahkan ini akan segera berakhir Paman segera menghampiri aku dan Jalal. Nampaknya paman ingin kami memisahkan diri dari warga yang lainnya, kami bertiga memasuki kota melalui arah yang berlawanan dari penduduk desa.

Paman kemudian membawa kami ke Rumah saudara iparnya, adik dari Bibi Salma yaitu Bu Arni. Bu Arni memiliki dua orang anak yang masih kecil namun ia tetap membiarkan kami tinggal di rumahnya disediakan air, kamar, dan makanan. Kemudian Bu Arni mulai bertanya apa yang terjadi kepada kami. Paman mulai terdiam mulutnya seketika membisu karena ia pun tak tahu bagaimana kabar istrinya.

"Salma dan Ibu Annisa kemungkinan tidak selamat..." suaranya masih bergetar "Tentara-tentara itu mungkin menawan atau telah membunuh mereka" sambung paman. "Apa? Salma tidak bersamamu? mengapa" tanya Bu Arni.

"Suami macam apa aku ini... aku bahkan tidak tahu dimana istriku berada." ujar paman sambil menangis tersedu-sedu. "Itu bukan salah paman, Bibi salma menemani ibuku pergi ke pasar membeli segala macam perlengkapan untuk acara ulang tahunku." asku mencoba menenangkan paman. "Sudahlah.. itu bukanlah salah mu ataupun salah pamanmu aku percaya itu merupakan takdir yang harus ditempuh olah Salma." jawab Bu Arni.

Kami bertiga kemudian disuguhkan Parata semacam roti bundar asal india, karena india merupakan tempat asal Bu Arni dan juga Bibi Salma. Setekah makan Bu Arbi mengantar kami ke dalam ruangan kami yang telah disiapkan olehnya sebelumnya. Aku baru menyadari kaki kami penuh luka akibat menelusuri hutan yang penuh dengan belantara. Bu Arni kemudian masuk dan  membawa sebaskom air untuk membasuh kaki kami. Entah mengapa hari itu merupakan pengalaman tidur yang paling aneh untukku, sebelum tertidur sempat terpikir olehku bagaimana keadaan Ibu dan Bibi Salma.

Paginya kami mendapat kabar bahwa penduduk desa yang lain diungsikan ke balai desa. Aku mencoba untuk bangun namun kakiku masih terasa kaku dan sakit untuk berjalan. Paman kemudian memaksakan tubuhnya utnuk bangun, ia akan pergi ke balai desa untuk mencari kabar tentang Ibu dan Bibi salma. Suami dari Bu arni juga ikut pergi bersama Paman.

Bu Arni kemudian masuk ke dalam kamar dan duduk disebelahku jelas sekali ia ingin berbicara denganku. "Aku sudah mendengar seluruh cerita dari pamanmu, kamu sudah cukup mecderita sebagai seorang minoritas dari kaum minoritas." kata Bu Arni memandangku. "Aku tidak tahu mengapa Ibu menikah dengan orang filipina itu, ayah bahkan tidak pernah pulang dan menemuinya, ia hanya mengirimkan uang dan itu saja." jawabku kepada Bu Arni. "Cinta tak mengenal agama, musuh, ataupun teman kelak kau akan mengerti itu." ujar Bu Arni.

Paman kembali dari balai kota dengan wajah yang masam kuduga karena tidak ada kabar dari bibi dan ibu. "Mereka mulai mendekat mungkin kota ini akan mennjadi sama seperti kota Mindanao!" ujar paman. Kami semua keluarga Bu Arni, paman, Jalal, dan aku bergegas pergi ke pelabuhan, disana sudah ramai sekali orang mengantri untuk pergi. Terlihat lautan manusia dari pintu masuk pelabuhan hingga dermaga. Jalal yang memiliki postur tubu besar membuka jalan menerobos masuk. "perempuan dan anak-anak duluan ujar pemilik kapal.

Kapal yang akan kami naiki adalah kapal nelayan yang mungkin dapat menampung 40-50 orang dengan ukuran yang lumayan besar, masalah timbul karena tidak semua orang bisa naik. Terdengar deru mobil dan truk tentara Filipina dari kejauhan dan kemudian turunlah para serdadu dengan senjatanya, mereka berbaris. Sontak orang-orang ketakutan mereka saling dorong bahkan hingga ada yang terjatuh ke laut. Paman, Jalal dan suami Bu Arni berusaha memasukan aku, Bu Arni dan anak-anak ke dalam kapal.

Bu Arni dan kedua anaknya naik duluan, kemudian aku di bantu Jalal didorongnya aku ke dalam kapal hingga aku tersungkur. Bunyi mesin kapal dihidupkan aku segera bangun dan mencoba menarik Jalal dan Paman namun tidak ada lagi ruang tersisa. Aku hanya dapat diam membisu melihat paman dan Jalal di pinggir Dermaga.

Jalal hanya tersenyum dan kemudian ia mencium bibirku, ini pertama kalinya aku melihat Jalal tersenyum setelah sekian lama. Paman merangkul bahu Jalal dan kemudian ikut tersenyum kepadaku "Hiduplah Annisa kami akan menunggumu di belahan dunia yang lain" teriak paman saat kapal itu mulai berlayar. Bibi menangis dan tanpa terasa derai air mata membasahi pipiku juga, aku hanya bisa membalas senyuman kepada mereka.

Terdengar teriakan warga laki-laki tersisa, mereka memutuskan untuk melawan puluhan warga kemudian menerjang ke arah tentara filipina termasuk paman dan Jalal. Sebagian menceburkan diri ke air. Terdengar teriakn serdadu Filipina "BERSIAP!!!!! TEMBAK!!!!" dan bunyi tembakan berdengung di udara. Namun kali ini ada yang berbeda teriakan itu tidak dipenuhi kesakitan dan rasa takut, malah terdengar seperti rasa marah.

Dalam benakku kutahu ini mungkin terakhir kali aku akan bertemu dengan paman dan Jalal.

Kapal ini akan berjalan membawaku ke dunia baru yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya.

Cerita ini hanyalah fiksi belaka yang berdasarkan sejarah.

Kontak penulis\

IG: stef4n_ren

e-mail: adekariggk

Langkah Kaki AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang