Suara tangisan dan raungan istri yang kehilangan suami dan anak-anak yang kehilangan seorang ayah menghiasi seluruh penjuru kapal mulai dari buritan sampai haluan. Baru kusadari aku kemungkinan sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Jalal dan paman memiliki kemungkinan kecil untuk selamat. Entah kenapa aku rasanya sangat merindukan kehadiran Jalal, hari-hari yang biasanya kuhabiskan bersama Jalal tidak akan ada lagi. Kapal semakin menjauh ke lautan terbuka sampai bibir pantai tidak lagi terlihat di pandangan.
Kuhampiri Bu Arni yang masih menangis di buritan kapal, dipeluknya kedua anaknya erat. Jam demi jam suara tangisan masih terdengar. Aku sudah tidak menangis lagi air mataku tidak dapat lagi menetes. Kuhampiri Bu Arni yang sudah agak tenang aku mulai duduk dekat dengan bibi. Kulihat awak kapal mulai sibuk menenangkan orang, sebagian sibuk mendiskusikan rute perjalanan dengan kapten kapal. Mereka berbicara keras sekali hampir seperti berteriak, ternyata mereka tidak membawa penunjuk arah baik itu kompas maupun peta.
Menurut pengamatanku ada 9 orang anak buah kapal yang sedari tadi berlalu lalang, ada 2 orang pria yang berusia hampir sama dengan ku mungkin masih dibawah 20 tahun. Kapten kapal kemudian memanggil semua orang berkumpul di dek kapal.
"Ada 52 orang diatas kapal ini belum termasuk 9 orang awak kapal ku ini, kapal ini hanya bisa menampung 20 sampai 30 orang. Bila ada badai maka kita semua tidak akan selamat, bukan hanya itu kita juga tidak punya cukup makanan yang akan dibagi-bagi" Mendengar ucapan dari kapten kapal banyak orang yang menjadi panik. Sebagian dari mereka ada yang berdoa sebagian merengek kepada Allah mengapa menempatkan mereka dalam cobaan ini.
"Aku sekarang sudah menjanda, aku punya dua anak yang satu berusia 6 tahun dan yang satu berusia 4 tahun. apa yang harus aku lakukan?" ujar bu Arni. Aku hanya bisa memeluk dan merangkulnya mencoba untuk menenangkannya padahal aku sendiri masih terguncang atas semua kejadian yang telah terjadi. Seluruh orang diatas kapal kemudian mulai berdiskusi kemana kami akan pergi sebagian ada yang menyebutkan negara-negara tetangga seperti Brunei, Johor Malaysia, Indonesia yang mereka tak ketahui tak ada satupun penunjuk arah diatas kapal.
"Kami tidak punya kompas namun Sultan disini merupakan pembava arah yang hebat dia dapat membawa kita ke pulau asalnya Sulawesi hanya dengan melihat bulan, bintang, dan matahari." terang sang kapten mencoba menenangkan semua orang. Beberapa ada yang tidak setuju dengan keputusan kapten atas berbagai alasan. Ada yang bilang mereka tidak punya keluarga disana, bila pergi ke malaysia maka dia punya saudara dan sebagainya. Namun semua keluhan mereka tidak di dengarkan oleh kapten.
"Aku kapten Barbad, Muhamad Barbad Syaifudin, kalian bisa memanggilku kapten. Aku sudah pernah pergi memancing hingga laut jawa, laut cina selatan aku percaya dengan keputusan anak buahku. Bila kalian tidak ingin mengikuti keputusanku silahkan keluar dari sini laut terbuka akan jasadmu" Ancam kapten kepada semua orang.
Diantara kru kapten ada 1 orang dengan perawakan yang cukup mengerikan, rambutnya diikat dengan senyum yang membuat orang ngeri. Dia selalu tersenyum ketika melihat anak-anak di kapal, aku menjadi was-was dengannya. Selain dia yang cukup menonjol adalah Damar, Damar adalah pria yang seumuran denganku wajahnya cukup tampan dan kulitjya hitam dia selalu mengecek kondisi para pengungsi di kapal, ia juga berperan untuk membagikan ransum jatah makanan.
Siang bergantui sore, sore berganti malam datanglah waktu makan malam. Semua orang dibagikan setengah bagian dari roti dan satu gelas air itu semua masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebuuhan orang-orang. Bisa kulihat Bibi memberikan jatah rotinya kepada anaknya. Malam itu dingin angin laut menerpa tubuhku, goyangan ombak membuat ku ingin muntah. Aku segera pergi ke buritan kapal dan memuntahkan segala isi perutku disana, ketika aku melihat pantulan sinar bulan di air laut aku terkenang dengan Jalal dan paman. Apa yang terjadi dengan paman dan Jalal? apakah mereka sudah tenang disana? Apa yang harus aku lakukan sekarang?.
Dibawah remang-remannya bulan aku berjanji pada diriku sendiri, aku membatin bahwa aku akan kembali ke tanah tempat lahir ku suatu ketika. Aku akan memperjuangkan semua yang menjadi hakku, kewarganegaraanku, rumahku, keluargaku, Jalal. Aku akan menebus mereka semua bila aku selamat....
Kucoba memejamkan mataku dipinggir kapal, ketika suara kegaduhan terdengar dari dek kapal. Kulihat ada seorang Ibu-ibu dan kru kapten yang bertampang sangar itu berkelahi. Ternyata awak kapal yang menyeramkan itu bernama Sumanto dia merupakan seorang Indonesia asli selain Damar. Ibu itu menuduh Sumanto mencoba menculik anaknya ketika ia masih tidu.
Kapten yang mendengar keluhan itu keluar dari kamarnya dan dengan segera menampar Sumanto, ternyata Sumanto ini bisu dan tak bisa bicara. kapten meminta maaf kepada ibu itu, ia menerangkan bahwa Sumanto ini ternyata mengalami gangguan kejiwaan ketika mereka berlayar ke Thailand dan sampai sekarang masih belum sembuh. Sumanto memang bisu dari lahir, tidak hanya kapten yang datang ke keributan itu aku juga melihat Damar. Damar hanya berdiri dibelakang sedikit jauh dan duduk mengamati entah apa yang ada di pikiran Damar.
Setelah kerusuhan itu reda semua orang pergi tidur, kecuali damar ia masih duduk ditempatnya yang semula diam dan membisu. Aku yang sudah kelelahan menangis menjadi sangat mengantuk, seluruh tubuhku kesakitan dan angin laut ini malah memperburuk keadaan. Mataku terpejam aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk ini aku pun tertidur.
Aku terbangun keesokan paginya diterpa oelh panasnya terik mentari pagi di wajahku, orang-orang juga sudah mulai terbangun. Makanan sudah disiapkan hal yang sama setengah roti dan segelas air. Banyak yang mengeluh mengapa mereka hanya diberikan setengah bagian roti dan segelas air. Ternyata Damar ada disebelahku menyodorkan roti bagianku dengan senyuman, kuperhatikan damar ini selalu tersenyum ekspresi wajahnya terkesan sangat ramah kebalikan dari Jalal yang tidak punya ekspresi, namun ibu bilang agar aku selalu berhati-hati dengan senyuman dari orang yang murah senyum dan tawa dari orang yang bisa menjaga ekspresinya.
Kapten kemudian keluar dari kapalnya, ia berbicara bahwa dengan kondisi angin laut seperti ini yang mendukung kita dapat sampai di tujuan dalam waktu kurang dari dua hari. Semua orang gembira mendengar kabar itu, namun wajah kapten mulai masam. "Namun makanan dan minuman kita hanya tersisa untuk satu kali makan lagi." Semua orang di kapal terkejut mereka bertanya-tanya mengapa kapal ini tidak membawa makanan lebih banyak.
Sungguh pertanyan yang bodoh kapal ini hanya berisikan 9 orang sebelumnya mungkin suplai makanan yang kami makan itu akan cukup untuk mereka untuk berminggu-minggu. Pikiranku dikagetkan dengan Damar yang berdiiri di sebelah ku.
"Siapa kamu? Namamu?" tanya Damar dengan wajah yang penuh penasaran. "Annisa, aku Annisa seperti yang kau lihat aku berasal dari tempat yang sama dengan semua orang ini." jawab ku kepada Damar. "Dimana keluargamu?" tanya Damar. "Mereka semua kemungkinan sudah mati." jawab ku.
Damar sontak ingin merangkulku, aku tentu saja langsung menepis tangannya dan menjauh, aku segera berlari ke arah Bu Arni meninggalkan Damar yang terkejut dan terpelanga. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku melakukan hal itu, entah apa yang terjadi antara aku dan Damar kedepannya.
Cerita ini hanyalah fiksi belaka berdasarkan sejarah.
Kontak penulis
IG: stef4n_ren
email: adekariggk
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Kaki Annisa
RomanceNovel ini mengisahkan perjalanan Annisa seorang pengungsi asal Filipina yang melangkahkan kakinya ke tanah Indonesia, dalam 54 episode ini kisah Annisa akan diceritakan. Perjalanan, cinta, pencapaian, hingga akhir hidupnya. Annisa sendiri merupakan...