"Pris, gimana? Kamu dapet nilai berapa?"
Suara lantang Ayu seolah menjadi sirene berbahaya yang membuat banyak pasang mata menatapnya penasaran. Prista menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyodorkan kertas berupa lembar ulangan pada gadis berambut pendek di hadapannya.
"Ih, edan! Prista, mah, gak pernah meragukan." Prista mematung saat satu-persatu murid mendekat pada Ayu untuk mengintip hasil ulangannya. Sorak sorai kembali bersahutan, memuji maupun mengungkap kecewa lantaran Prista tidak memberi contekan.
"Yu." Prista menarik kertas itu dengan lembut, berusaha tidak terkesan merebut. Sedang semua murid sudah kembali ke tempat masing-masing. "Aku mau ke kantin."
Ia melangkah cepat, tidak lagi ingin mendengar setiap kalimat yang Ayu keluarkan. Melupakan niat untuk ke kantin, kaki-kaki jenjangnya berkelok, membawa Prista pada barisan tangga sampai depan pintu. Ia memutar gagangnya hingga siapapun yang mendengar derit pintu memekakkan akan menutup telinganya.
Prista berdiri di atas keramaian, memeluk sepi diantara senyapnya suasana rooftop. Bising dibawah sana menembus menjadi dengungan panjang, lalu kalah oleh suara-suara yang bermunculan dalam kepalanya.
Sekali lagi, ia meratapi angka 90 yang terbelenggu oleh lingkaran berwarna merah. Lalu meremasnya menjadi gumpalan sampah yang kemudian ia buang ke sembarang arah. Prista memejamkan matanya erat-erat, memukul-mukul kepala dengan lengannya sendiri.
"Tenang, Prista. Tenang. Kamu aman, kamu aman." bisiknya untuk menenangkan diri. Agar riuh di kepalanya segala redam.
"Apanya yang aman?"
Prista tersentak, reflek berpegangan pada pagar pembatas dengan mata membola. Suasananya akan berubah horror jika Prista tidak segera menemukan sosok berseragam kusut yang duduk di kursi panjang dekat pipa-pipa yang menempel pada tembok. Rambutnya berantakan, dengan rokok yang terselip diantara celah bibirnya.
"Nama gue Barnas."
Namanya Barnas.
Sedang cowok itu tersenyum, membuka mulut hingga asap bertebaran. "Kenapa? Mau teriak lagi? Kali ini lo mau ngadu sama siapa?" Rautnya setenang semilir angin yang berhembus. Namun, penekanan pada setiap katanya berhasil membuat Prista tertegun.
"Maaf." Prista mengucapkannya dengan raut sesal, mengundang kernyitan halus di kening Barnas. "Buat?"
"Karena udah buat kamu masuk bk?" balasnya skeptis. Jelas Prista bingung. Ia merasa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar, sebab Barnas telah melanggar peraturan sekolah. Namun tatap pria itu membuat perasaannya gusar, seolah Prista memang sepatutnya meminta maaf.
Barnas tertawa kecil. "Jadi, lo membenarkan apa yang gue lakuin?"
"Enggak."
Karena, peraturan tetap peraturan.
"Gak perlu minta maaf buat hal-hal yang lo rasa gak bener. Maaf itu mahal." Barnas menginjak puntung rokok itu setelah menyesapnya untuk terakhir kali. Ia berdiri, mendekat pada Prista yang sudah dalam mode siaga.
Sejenak Prista terpaku saat pria itu berjongkok, mengambil gumpalan kertas di dekat kakinya. Membuka dan mengamati isinya.
"Prista Lasheeta." Barnas tersenyum, memandang reaksi gadis itu dibalik kertas kusut yang dipegangnya. "Gila! Keren, keren. Baca soal pertama aja gue pusing, tapi ini hampir bener semua."
Ekspresi terkejut Barnas yang tidak terkesan di buat-buat membuat sudut bibir Prista tertarik ke atas. "Emang pusing. Ngerjainnya juga butuh effort."
"Ini serius, lo gak ada nyontek satu pun?"
"Enggak, lah! Enak aja."
Barnas tertawa, menurunkan kertas itu setelah membolak-balik nya. "Terus, kenapa lo kecewa? Karena dapet nilai 90?"
Ada kaget yang Barnas tangkap dari netranya, lalu berganti kilat tidak suka diiringi deru napas berat dari Prista. Keheningan kembali mengambil alih. Selama bermenit-menit Barnas membiarkan bisu menjeda panjang. Sampai bel berbunyi kencang, ia tersenyum kecil.
Tangannya bergerak menepuk puncak kepala gadis itu sebanyak dua kali. "Lo hebat."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesuatu Di Bandung
FanfictionSemua berawal dari Bandung, dan berakhir di Bandung.