Dihari pertama pindah ke sekolah baru, Barnas sudah mendapatkan sial.
"Kamu, teh, belum juga sehari masuk udah sok-sok'an manjat tembok. Mau jadi Spiderman?"
Barnas memejamkan mata rapat-rapat, membiarkan guru yang tidak ia ketahui namanya itu berceloteh dengan suara cempreng yang berhasil membuat gendang telinganya gatal. Sesaat kepalanya terus tertunduk, terlalu lama memejamkan mata sampai mengantuk.
"Barnas! Euleuh-euleuh, ieu budak."
Barnas mengembuskan napas panjang, lalu mendongak. Senyum terpaksa terpatri di wajahnya. "Kenapa, Bu? Saya nggak ngerti."
Dan detik selanjutnya ia menyesal telah bersuara, yang mana membuat guru itu semakin murka. Ia tidak bisa mengelak lagi. Terpaksa menjawab ogah-ogahan meski enggan.
"Ya, kalau gerbangnya gak di tutup juga saya gak akan manjat." Barnas kadang tidak mengerti, kenapa kejujuran selalu berujung petaka di hidupnya.
"Suruh siapa atuh telat? 'kan—"
Sesaat, suara guru itu seolah lenyap, menggema lalu berdengung di telinganya. Barnas mematung kala cuping hidungnya menangkap harum manis seperti kue bercampur aroma buah yang menyegarkan. Ia mengerjap, menegakkan tubuh dengan bola mata yang bergerak liar, hingga irisnya terpaku pada gadis berambut panjang yang berdiri tidak jauh darinya.
Ada tumpukan buku di lengannya, sebelum berpindah pada meja persegi berwarna coklat. Kerutan halus di kening Barnas seolah tidak berbohong bahwa ia masih mengingat gadis itu. Teriakan melengkingnya masih terekam jelas dalam memori Barnas, yang menyebabkan ia duduk di sini ditemani celotehan tanpa henti dari wanita paruh baya di depannya.
"Bu." katanya, memotong kalimat yang belum selesai.
"Apa?" Guru itu menyahut sewot.
Barnas tersenyum. "Saya mau tanya."
Sekilas, guru itu tampak menyelidik, lalu mengadah. "Tanya apa?" Nada ketus itu masih terdengar.
"Murid yang berdiri di sebelah situ, namanya siapa?"
Hingga Barnas berdiri panik saat guru itu melotot marah, berancang-ancang seolah Barnas adalah buruan yang siap dilahap mentah-mentah.
"BARNAS RAFIKAR!"
***
Langkahnya terhenti di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Ia terpaku, juga membisu. Dengan tangan yang meremas ujung baju, dan mata yang mengerjap ragu. Sesaat Prista berpikir untuk memutar tubuhnya, melangkah mundur dan membatalkan agenda yang telah direncanakan dalam kepalanya.
"Lo?"
Prista terkesiap, ia meloncat mundur dengan raut terkejut. Plastik putih di tangannya hampir terjatuh jika ia tidak segera mengendalikan diri. Sadar bahwa itu tindakan bodoh, gadis itu mendongak untuk meminta maaf. Tapi, segala untaian kata permintaan maaf itu tertahan di kerongkongan begitu Prista melihat siapa sosok di hadapannya.
Sesaat pandangan mereka berjumpa, Prista nyaris tenggelam dalam tatap tajamnya, sebelum suara dingin itu menarik paksa kesadarannya.
"Lo ngapain di sini?" Dalam diam Prista mengepal. Berusaha terlihat tenang dalam keadaan gugup setengah mati. "Ini, itu, apa ya ..."
"Apa ya, apa?"
Napasnya tercekat, suara juga tatap pemuda itu seakan sedang mengulitinya hidup-hidup. Deru napas berat keluar dari mulutnya. Prista memejamkan mata, mencoba mengingat seluruh petuah Mama beberapa menit lalu.
Pertama, harus memiliki kesan baik di pertemuan pertama. Prista menghapus daftar itu dari bloknot di kepalanya. Meski tidak yakin, raut kesal pria di hadapannya cukup untuk menyimpulkan bahwa dia mengingat Prista. Sedangkan pertemuan pertama mereka sedikit ... kacau. Jauh dari kata baik.
"Masih lama mikirnya?" Lagi. Prista mengerjap, memandang pria itu yang kini sudah bersedekap dan menyandarkan tubuh pada tembok, menatapnya lekat.
"Oh, ini." Ia berangsur menjulurkan plastik berlogo besar di tangannya. "Kue dari Mama. Katanya sebagai sambutan buat tetangga baru." Prista meringis. Harusnya ia mengucapkan dengan tenang dan riang, bukan malah nge-rap yang membuat dirinya terlihat semakin bodoh.
Wajah angkuh itu perlahan-lahan melunak. "Thanks. Salam buat nyokap lo." katanya, terdengar lebih tulus sehingga Prista bisa mengembuskan napas lega.
Prista menarik sudut bibirnya kaku. "Ya ... udah. Kalau gitu, duluan, ya!" Ia beringsut mundur, memutar tubuh, dan hendak berlari.
"Barnas."
Langkah kakinya kontan terhenti. Prista terdiam sejenak, lalu menoleh untuk memastikan dengan siapa pria itu bicara. Dan ketika ia terpana pada senyum kecil itu, sang pemilik raga kembali bersuara,
"Nama gue Barnas."
***
B
arnas & Prista 🖤🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesuatu Di Bandung
Fiksi PenggemarSemua berawal dari Bandung, dan berakhir di Bandung.