"Makasih ya, Mas. Maaf udah ngerepotin."
"Sama-sama. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Diza masih berdiri di tempatnya, menunggu sampai kendaraan Kahfi hilang dari pandangan. Ia angkat dua bungkus bakso bakar berisi masing-masing sepuluh tusuk di tangannya. Sudah dingin, tetapi Diza yakin rasanya pasti masih enak. Diza bisa meminta Mbak Atih menghangatkannya kembali agar lebih nikmat saat disantap.
"Diza, Diza ..., aku minta maaf, Za. Tadi aku ketemu Zaskia dan ... aku merasa nggak bisa menyia-nyiakan waktu yang ...."
Di luar dugaan Juna, Diza justru tersenyum lebar. "Makasih ya, Kak Juna, udah batal jemput aku tadi."
Diza memberikan senyum terbaik yang ia miliki. Namun, Juna justru menafsirkan hal berbeda. Ia kira, senyum dan ucapan terima kasih Diza tersebut adalah bentuk sarkasme yang berarti sebaliknya.
"Oke, aku ngaku, Aku bilang ke Om Sultan tujuanku ke Jakarta karena ada urusan, dan urusan yang sebenarnya aku maksud adalah Zaskia. Kita berantem dan Zaskia minta putus, tapi aku masih sayang banget sama dia dan-"
"Iya, aku ngerti kok." Diza maju mendekat untuk menepuk pundak Juna beberapa kali. "Kita memang harus berjuang demi orang yang kita sayang. Fighting," ucapnya seraya mengepalkan kedua tangan. "Kak Juna mau bakso bakar? Bentar ya, aku minta Mbak Atih angetin baksonya lagi."
"Za?" Juna hanya bisa melongo bingung melihat sikap aneh sepupunya. Gadis itu berjalan santai sambil menyenandungkan lagu berbahasa korea yang tidak Juna mengerti. Yang Juna yakini, isi lagu tersebut pastilah menggambarkan suasana hati Diza yang ... sepertinya sangat baik malam ini.
Sudah pasti baik. Sebab jika bukan karena kesalahan manis yang dilakukan Juna, Diza pasti tak bisa menikmati waktu berdua dengan Kahfi. Dan itu bukanlah waktu yang sebentar.
Kalau boleh, rasanya Diza ingin mengabadikan bakso bakar tersebut dalam figura kaca. Kemudian membubuhkan tanggal hari ini serta tak lupa menuliskan kejadian-kejadian sederhana yang manis dan sangat bermakna baginya.
Kahfi menepati janji, menemani Diza membagikan lebih dari seratus tusuk bakso bakar di jalanan. Secara kasat mata, keduanya mungkin terlihat melakukan hal sederhana. Namun, di mata Diza, selain membagikan bakso bakar kepada beberapa orang yang mereka temui di jalan, ia dan Kahfi juga saling berbagi senyum, tawa serta rasa syukur yang tak ternilai harganya.
Benar-benar pengalaman yang menyenangkan bagi Diza. Padahal sebelumnya, Diza dan Papa sering berbagi rezeki ke panti asuhan. Nominal rupiah yang dikeluarkan tentu jauh lebih besar dari jumlah tusuk bakso yang ia bagikan beberapa saat lalu. Barangkali Papa akan tertawa jika mendengar cerita Diza. Bahkan mungkin Papa akan mengusulkan pada Diza jika lebih baik ia membagikan sejumlah uang yang tentu lebih bernilai dari sekedar sepuluh tusuk bakso bakar perorangnya.
Bagi Diza, ini bukan perkara apa yang ia bagikan. Namun, dengan siapa ia membagikannya. Kahfi. Seseorang yang ... dalam hayalan Diza, ia tak pernah mengira akan melakukan hal sederhana tersebut bersama Kahfi.
"Mbak Atih, aku mandi ya. Nanti tolong anterin bakso bakarnya ke kamar Kak Juna. Aku udah makan tadi, jadi nggak usah diantar ke kamarku. Lebihnya buat Mbak Atih sama Ila aja ya."
"Baik. Makasih ya, Non."
Ponsel dalam tasnya berdering. Segera saja Diza rogoh isi tasnya, kemudian senyumnya mengembang sempurna saat mendapati nama sang ibu tertulis di sana.
"여보세요"
(Hallo.)"내 딸"
(Putriku.)"네, 옴마"
(Ya, Eomma.)

KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Perfect Mate
Lãng mạnFadiza Azzalea biasa hidup manja dalam gelimang harta. Sebagai putri tunggal Sultan Hayatsyah, pengusaha terkenal di Indonesia, Diza terbiasa mendapat apa yang dia mau. Jika Diza menginginkan pulau pribadi pun, itu bukan hal yang sulit diwujudkan me...