NAPM 2

2.7K 369 20
                                    

Sepanjang perjalanan menuju lokasi acara, Diza tak henti meremas jemarinya. Gugup berdampingan dengan laki-laki yang ... dalam mimpi sekalipun, Diza tak pernah membayangkan akan ada di posisi ini.

Ia memang sudah cukup lama mengagumi Kahfi. Ah, bukan. Diza sangat yakin, apa yang dirasakannya pada Kahfi, lebih dari sekedar rasa kagum. Lantas cinta? Sepertinya itu lebih tepat.

"Diza ...."

"Y..ya, Mas?"

Tuhan .... Bahkan hanya mendengar Kahfi menyebut namanya saja, jantung Diza bertalu tak karuan. Padahal Diza yakin, jantungnya baik-baik saja. Baik Papa maupun Eomma, kedua orang tua Diza tersebut tak memiliki riwayat penyakit jantung. Namun, mengapa sekarang yang Diza rasakan, jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya?

"Kamu kedinginan? Mau saya tambah suhunya?"

Sejak tadi, Diza memang beberapa kali mengusap tangan serta memainkan jemari, dan ternyata Kahfi menyadari aksinya itu. Bukan karena kedinginan, tentu saja. Sudah pernah Diza katakan bukan, jika ia menyukai salju? Suhu udara di Korea saat musim salju datang, tak seberapa jika dibandingkan suhu mobil Kahfi malam ini. Diza melakukannya karena gugup, tetapi Kahfi yang memang tidak terlalu mengenalnya, justru mengartikan berbeda.

Omong-omong soal laki-laki yang duduk sambil fokus menyetir di sebelahnya itu, Diza kembali dibuat jatuh cinta melihat penampilan Kahfi malam ini yang ... sangat mempesona. Ini memang bukan kali pertama Diza melihat Kahfi dalam balutan kemeja. Sehari-hari pun, pria itu memang mengenakan kemeja saat bekerja. Mungkin ... yang membuat Diza terpesona dengan penampilan Kahfi malam ini adalah karena pria itu memilih mengenakan kemeja berwarna coklat keemasan, yang tampak serasi dengan gaun berwarna gold yang Diza kenakan. Seakan mereka berdua sudah janjian saja.

Diza terkikik kecil, membayangkan ia dan Kahfi dengan setelan yang mereka kenakan saat ini, tengah melakukan prosesi tukar cincin. Gaun Diza memang bukan jenis kebaya yang biasa dipakai para gadis saat di acara pertunangan. Namun, Diza pikir masih pantas untuk dikenakan semisal dalam acara pertungannya dan Kahfi.

Tetapi ... kalaupun ia dan Kahfi nanti bertunangan, Diza pasti akan membeli gaun baru yang ... mungkin agak lebih sopan dari gaunnya sekarang. Sebab, saat Diza membukakan pintu untuk Kahfi tadi, lelaki itu sempat terkejut beberapa saat. Ya, Diza yang membukakan pintu untuk Kahfi. Tiba-tiba saja ponsel Papa berdering, panggilan penting dari sekretarisnya. Nada bicara Papa mendadak tinggi, kemudian Papa menaiki tangga menuju kamarnya.

Pandangan mata Kahfi tak usil menyoroti penampilan Diza dari atas sampai bawah seperti kebiasaan mantan-mantan pacar Diza sebelumnya. Namun, Diza paham jika Kahfi pasti terganggu dengan gaun pilihan Diza.

Mau bagaimana lagi. Kemarin saat memilih gaun, Diza masih setengah tak yakin Kahfi benar akan menjemputnya untuk pergi bersama ke acara Pak Andi. Jadi, Diza tak begitu mempertimbangkan bagaimana penilaian Kahfi saat melihatnya.

Ya sudahlah, Diza bisa apa lagi. Ia pasrah dengan bagaimana penilaian Kahfi terhadapnya malam ini. Mau bertanya, Diza tak berani. Bukan tak berani sebenarnya, Diza cuma takut mendadak bicara gagu lagi seperti tadi. Kan malu ....

Area parkir sudah dipadati banyak mobil. Kahfi agak kesulitan mencari lokasi parkir yang kosong, saking banyaknya mobil yang berjejer di sana. Kira-kira, saat Diza dan Kahfi menikah nanti, tamu yang hadir akan sebanyak ini juga nggak ya? Atau ... mungkin bisa lebih banyak. Karena kolega Papa sendiri tak terhitung banyaknya. Belum lagi keluarga Papa. Keluarga Eomma dari Busan juga sudah pasti datang kan? Teman-teman Diza juga banyak. Soalnya, Diza masih aktif bergabung di grup chat whatsapp teman sekelasnya saat SMA serta teman kuliah dulu. Belum lagi ada beberapa nasabah yang ia kenal baik selama bekerja. Jangan lupa keluarga serta kolega dari pihak Kahfi. Kira-kira 5000 undangan, cukup tidak ya?

(Not) A Perfect MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang