NAPM 3

419 78 7
                                    

"Good morning, Papa ...."

Diza awali pagi yang cerah ini dengan penuh semangat. Satu pesan singkat dari Kahfi kemarin malam, ternyata membawa efek yang sangat positif untuknya. Keraguan Diza atas perasaan Kahfi pada Kiran, seketika menguap begitu saja.

"Morning, Za ...." Seperti biasa, Papa akan segera melipat kembali korannya saat putri kesayangannya sudah bergabung di meja makan dengannya. "Ceria banget kamu hari ini?" tanya Papa bingung. Masih sangat ingat jika kemarin malam, putrinya pulang ke rumah dalam keadaan lesu.

"Biasanya juga aku kayak gini, Pa," jawab Diza santai. "Wajib hukumnya menyambut pagi dengan senyuman. Jangan lupa bersyukur masih diberi nikmat sehat sama Tuhan."

Meski masih bingung dengan tingkah putri semata wayangnya tersebut, Papa mengangguk saja. Toh putrinya bukan mengatakan sesuatu yang salah. "Rencananya besok Papa berangkat ke Bali, Za."

"Berapa lama, Pa?"

"Sekitar semingguan."

"Yaah ..., aku ditinggal sendirian dong."

"Nggak sendirian. Juna mau ke Jakarta hari ini, ada urusan katanya. Sekalian Papa titip kamu ke Juna selama dia di Jakarta."

"Oh ya? Kok Kak Juna nggak ngabarin aku, Pa?" Diza segera mengeluarkan ponsel, mencoba menghubungi nomor kakak sepupunya itu. "Nggak aktif lagi."

"Barangkali udah di dalam pesawat."

Mungkin Papa benar. Juna pasti sudah dalam perjalanan sekarang. Sudahlah, Diza habiskan sarapannya saja.

Omong-omong soal sarapan, Diza jadi ingin tahu, apakah Kahfi sudah sarapan? Terus apa menunya? Kira-kira Kahfi lebih suka minum kopi, teh atau susu ya? Kalau Papa sih lebih suka teh. Kata Papa, teh buatan Diza adalah teh terbaik di dunia. Eomma saja kalah. Diza yakin, Kahfi juga pasti akan jatuh cinta dengan teh buatannya.

***

Jika ada penghargaan kategori karyawan teladan, Diza yakin ia tidak akan berhasil menyabet penghargaan tersebut. Jangankan keluar sebagai pemenang, masuk nominasi saja tidak. Diza selalu datang lima menit menjelang morning briefing. Namun, pagi ini bisa dikatakan Diza tiba di kantor terlalu pagi. Yono, cleaning service di kantornya saja sampai heran mendapati gadis paling cantik di kantor tersebut keluar dari mobil dengan senyum tersungging. "Pagi, Yono .... Udah sarapan pagi ini?"

"Udah, Mbak Diza."

"Tuh kan, udah dibilangin jangan panggil mbak. Kita kan seumuran, Yon. Berasa tua banget gue dipanggil begitu."

Faktanya memang Yono dan Diza lahir di tahun yang sama. Diza mengetahuinya sewaktu tak sengaja melihat KTP Yono terjatuh dari berkas yang dibawa lelaki itu saat mengajukan pinjaman. Karena posisi jabatannya dan Diza jauh berbeda, Yono sungkan memanggil gadis itu hanya dengan nama, meski Diza sendiri yang memintanya. "Nggak papa, Mbak Diza. Saya nggak nyaman kalau manggil Mbak Diza hanya dengan nama."

"Formal banget sih, Yon. Kayak lagi ngomong sama atasan aja," protes Diza. "Oke deh, selamat bekerja, Yono."

Masuk ke kantor, Diza segera menempati kursi kerjanya. Karena pagi ini Diza datang lebih awal dari biasanya, Diza jadi tak punya teman mengobrol. Diza tidak tahu Kiran dan Yasmine datang pukul berapa. Karena biasanya, kedua gadis itu sudah duduk manis di kursi masing-masing saat Diza tiba.

Oh ya, Kahfi sudah datang belum ya?

Inginnya Diza bertanya lewat pesan. Seperti yang biasa Diza lakukan dengan pacar-pacar sebelumnya. Namun, kemudian Diza tersadar. Kahfi kan bukan pacarnya.

Tak ingin merusak suasana hatinya yang luar biasa baik, Diza keluarkan ponsel. Mencari aplikasi whatsapp dan membuka riwayat obrolannya dengan Kahfi. Dengan membaca rangkaian kalimat yang Kahfi kirim tadi malam saja, Diza sudah kembali dibuat senyum-senyum sendiri.

(Not) A Perfect MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang