"Morning Ariii sayaaang.... Pinjam buku PR Fisika dong...." pinta Sallie dengan wajah yang diimut-imutkan. Asera mendecih pelan saat melihat Sallie yang setiap hari selalu meminjam PR Ari untuk menyalin jawaban. Dan yang menyebalkannya, Ari selalu memberikan buku PR nya.
"Seharusnya lo nolak Ri! Kalau dikasih terus nanti dia tambah malas, lo nggak ingat dia bisa naik kelas karena apa?" Ari hanya tertawa dan mengibaskan tangannya pelan.
"Gapapa, kasian juga dia.... lo nggak ingat kehidupan dia kayak gimana?" Ari membalikkan pertanyaan yang membuat Asera hanya bisa menghela nafas. Temannya yang satu ini terlalu baik, menurutnya.
Seperti biasa, gadis bermata hijau zamrud itu selalu menjadi pusat perhatian di sekolahnya. Tidak heran setiap hari dia selalu disapa dan dimintai kontaknya oleh teman seangkatan, adik kelas, dan kakak kelas. Tapi, gadis itu selalu menolak. Jika tidak benar-benar perlu, dia tidak akan pernah memberikannya. Asera dan Goo menjadi sekian orang yang beruntung karena memiliki kontak Ari.
"Ri, gimana kemaren? Om sama tante lo jadi datang ke rumah?" tanya Asera saat mereka sedang makan di kantin. Ari hanya menjawab dengan anggukan, fokus dengan nasi goreng yang ada di hadapannya. Sebenarnya pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan hal lain yang lebih penting. Asera yang melihat itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ari, namun gadis itu tidak merespon.
Goo yang baru datang ikut bergabung, dia baru saja menyelesaikan tugas remedi dari guru biologi. Melihat Asera yang melambai-lambai di hadapan Ari, Goo hanya tertawa. Dengan cukup keras Goo menepuk pundak Ari, Ari yang kaget refleks menarik tangan Goo dan mengunci tangan Goo. Spontan Goo berteriak keras, menjerit kesakitan. Hal itu menarik perhatian siwa-siswa di kantin.
"Ri... lepasin woy, Goo udah teriak-teriak itu..." Ari yang tersadar langsung melepaskan pegangannya pada tangan Goo dan berseru panik.
"Goo... maaf... maaf... tadi gue refleks.... maaf yaa... sakit nggak?" tanya Ari panik, Goo hanya tersenyum kecut sambil memegangi tangannya yang ngilu.
"Tulang gue serasa mau patah." Goo meringis saat Asera menyentuh tangannya.
"Lo kenapa Ri? Ngelamun-ngelamun tiba-tiba ngepelintir tangan anak orang." Perhatian siswa di kantin sudah teralihkan kembali, Asera menolong Goo untuk berdiri dan duduk di sebelahnya. Ari hanya menghela nafas pelan dan menggeleng sebagai jawaban.
"Lo lagi ada masalah? Kalau lagi ada masalah jangan dipendam sendiri, sini cerita sama gue. Kita temankan?" ujar Asera. Lagi-lagi Ari menggelang.
"Gapapa Ser, tadi gue cuma mikirin tentang ortu gue." Jawab Ari setengah berbohong, setengah jujur. Asera yang mendengar jawaban Ari mengelus pundak Ari lembut.
"Jangan dipikirin terus, ortu lo nanti ga tenang di sana," ujar Asera.
"Eh... eh... ngapain pada sedih-sedih sih. Gue datang ke sini pengen minta makan, bukan minta kesedihan." Asera langsung menyikut pinggang Goo mendengar perkataan cowok itu.
"Apaan sih Ser, sakit woy. Mending lo beliin gue bakso deh, duit jajan gue habis. Lupa minta sama mama..." ucapan Goo menarik emosi Asera, cowok itu memang tidak peka. Ari yang melihat kehebohan di depannya tersenyum tipis.
***
Kakinya menyusuri trotoar yang ramai oleh siswa yang baru pulang sekolah, berjalan beramai-ramai bersama teman-temannya. Ari lupa membawa uang untuk pulang naik angkot, alhasil dia harus pulang dengan berjalan kaki. Untuk sampai di rumahnya, Ari harus melewati gang sepi yang biasanya sering menjadi tongkrongan preman-preman breng*ek. Preman-preman yang nongkrong di sana selalu berganti-ganti, karena sejak Ari lewat gang itu mereka tidak pernah berani untuk sekedar lewat di sana lagi.
"Hai cewek," sapa seorang anak SMA berandalan yang sedang nongkrong di sana. Ari tidak menoleh sedikitpun pada kelompok anak SMA berandalan itu. Karena kesal diacuhkan, salah satu dari mereka yang mengenakan topi menghadang jalan Ari sambil menyeringai ke arah gadis itu. Sayangnya hanya dibalas dengan tatapan dingin oleh netra hijaunya.
"Pulang kok sendirian aja sih cantik." Lagi-lagi Ari hanya membalas perkataannya dengan mendengus kesal. Dua orang sari kelompok mereka berjalan mendekat dari arah belakang Ari, menyentuh rambut gadis itu.
"Kalau orang ngomong nggak baik dicuekin lho," ujar salah satunya sambil memainkan ujung rambut Ari.
"Apa mau lo?" tanya gadis itu dingin.
"Ow...ow...ow... cantik cantik ga baik ngomong kayak gitu, lo bikin gue jadi pengen gangguin lo terus," ujar cowok yang ada di hadapannya. Dia berjalan mendekati Ari dan menyentuh pundah gadis itu, perlakuannya mendapat tatapan tajam dari gadis itu.
"Lepasin tangan lo dari pundak gue," kata Ari penuh penekanan.
"Hah?! Apa? Gue nggak denger, suara lo terlalu kecil dan imut sampai-sampai semut pun ga bisa dengar suara lo." Perkataan cowok bertopi ditanggapi dengan tawa keras dari teman-temannya. Teman-temannya yang lain juga mulai merapat ke arah Ari, mengelilingi cewek itu dalam lingkaran kecil yang sesak. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuatnya seperti anak kecil yang terkurung di antara pohon-pohon raksasa.
"Gue peringatin sekali lagi, lepasin tangan lo dari pundak gue. Atau..."
"Atau...?!" Cowok bertopi menyeringai melihat wajah Ari yang tampak marah.
"Atau gue patahin tangan lo!" Tawa keras langsung terdengar dari orang-orang yang mengelilinginya. Tawa meremehkan.
"Apa lo bilang? Matahin tangan? Cantik cantik jangan sok keras." Ari terdiam mendengar perkataan cowok di hadapannya. Tangannya mengepal kuat. Saat cowok di hadapannya kembali menyentuh pundaknya, dengan cepat gadis itu menggenggam kuat pergelangan tangan cowok itu dan mengunci tangan cowok itu dengan tangannya yang lain. Tungkainya bergerak cepat menendang kaki cowok itu dan dengan sekuat tenaga menghempaskan tubuh cowok itu ke belakang. Teriakan tertahan terdengar dari cowok itu, sebelum dia sempat bergerak Ari menarik tangan cowok itu ke belakang.
Krak....
Terdengar bunyi tulang patah yang memilukan telinga. Ari melepaskan pegangannya pada tangan cowok itu dan menghadap ke arah rombongan anak berandalan itu. Netra hijaunya tampak menyala dalam kegelapan. Teman-teman cowok itu bergidik ngeri melihat gadis di hadapan mereka, dengan cepat mereka memapah teman mereka yang pingsan karena menahan sakit pada tangannya. Setelah itu mereka berlari cepat menjauh dari gang itu, meninggalkan Ari yang menghela nafas pelan dan melanjutkan perjalanannya ke rumah.
"Nak Ari...." panggil seorang ibu-ibu paruh baya yang berjalan dengan tergopoh-gopoh ke arahnya, disusul oleh anak ibu itu. Seorang gadis yang lebih muda dua tahun dibanding Ari.
"Nak Ari gapapa? Tadi ibu lihat banyak preman di sana, anak SMA. Mereka nggak gangguin Nak Ari kan?" tanya Ibu itu dengan wajah cemas sambil memeriksa kondisi Ari. Ari tersenyum lembut.
"Nggak akan ada yang berani gangguin Ari, Bu," jawab Ari menggenggam tangan wanita paruh baya di hadapannya. Orang yang sangat peduli padanya sejak dia memutuskan untuk tinggal sendiri dan tidak bergantung pada tante dan om nya. Orang yang menganggpanya seperti anak sendiri, ditambah lagi Ari pernah menyelamatkan anak ibu itu saat diganggu oleh preman yang dulu berkuasa di gang sepi yang selalu dilaluinya.
"Kak Ari pasti nggak kenapa-kenapa, Bu. Kak Ari kan hebat." Gadis di belakang ibu itu tersenyum pada Ari.
"Ya udah, Bu Rathna, Olive. Ari masuk ke rumah dulu ya, capek pengen istirahat." Setelah mendapat anggukan dari Bu Rathna dan Olive, Ari masuk ke dalam rumahnya dan langsung merebahkan diri di atas ranjangnya. Melempar tas nya ke sembarang arah. Berusaha untuk memejamkan matanya meskipun pikirannya sedang penuh. Dia harus beristirahat agar staminanya cukup untuk menjalan misi nanti, misi berdarah yang menjadi keseharian dan bagian dari hidupnya.
**********
Gimana sama bab yang ini? Keren gak Ari nya
Vote+komen yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
STRONG GIRL : Perfection
ActionSeorang gadis feminim dan pendiam di sekolahnya, ternyata memiliki kisah hidup yang sangat tidak bisa diduga oleh orang-orang disekitar nya. Bersandiwara adalah keahlian terbaiknya, dan itu membantunya untuk hidup di dunia yang dialaminya. Hidupnya...