Bab 1

128 12 1
                                    

SUAMIKU, SUAMIMU?
BAB 1

“Papa ke mana, Mil?” tanyaku pada Milly anak gadisku yang sedang asyik berkutat dengan buku pelajarannya.

“Ke rumah Tante Wina, Ma. Katanya mau benerin keran bocor,” jawab Milly tanpa melihatku. Ia tampak serius dengan buku di tangannya, hari Senin besok ujian kenaikan kelas akan dimulai sampai 6 hari ke depan.

“Sudah lama?” tanyaku lagi.

“Emmm ... sepuluh menitan kayaknya, Ma.”

Aku mengangguk. Wina tetangga samping rumah memang kerap meminta tolong pada kami. Ya maklum di rumahnya tak ada laki-laki, yang kudengar suaminya kerja di luar pulau dan pulang 1 bulan sekali. Sebenarnya Wina orang baru di kampung ini, baru 2 bulan ibu 1 anak itu menyewa rumah di samping rumah kami.

“Apa itu, Ma?” Milly menunjuk kotak kue yang kubawa.

“Roti kayaknya.” Aku meletakkan kotak kue yang kudapat dari perkumpulan PKK di meja dekat Milly. Kotak bertulis nama toko roti yang lumayan terkenal di kota membuat mata Milly berbinar.

“Asyik roti Citra! Rasa keju lagi!” pekik anak gadisku kegirangan saat melihat isi di dalamnya.

“Duh girang banget, padahal Mama juga sering beliin loh,” ucapku mencium gemas pipinya. Bagiku dia tetap menggemaskan meskipun usianya sudah menginjak angka 11 tahun, sebentar lagi naik ke kelas 6.

“Ih, Mama ... tapi yang keju beneran enak loh, Ma. Milly aja ga pernah bosan,” sahutnya antusias dengan mulut penuh roti.

“Mama ganti baju dulu ya, kamu terusin belajarnya.”

“Oke, siap, Bos!” jawab Milly cepat, tangan kanannya terangkat membentuk sikap hormat.

“Jangan lama-lama ya, Ma ... temenin aku belajar,” tambah Milly kemudian.
“Oke, Nak ...,” sahutku.

Aku berjalan menuju kamar, membuka lemari mengambil baju ganti untukku. Sehelai daster berwarna navy dengan motif bunga yang kupilih. Di rumah memang lebih enak pakai daster, lebih nyaman rasanya.

“Sudah pulang PKK nya, Sayang?” bisik Mas Damar tepat di telinga, entah kapan datangnya tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.

“Dih ngagetin deh, Mas! Kalo aku jantungan gimana?” balasku pura-pura sewot. Benar saja, Mas Damar malah melingkarkan tangannya ke perutku.

“Tadi dari rumah Wina?” tanyaku.

“Iya, benerin keran airnya bocor, Yank.” Mas Damar menjawab sesuai yang dikatakan Milly.

“Owalah,” jawabku singkat. Jujur saja, aku sedikit tak suka, bagaimana pun aku manusia normal, pasti ada rasa khawatir. Meskipun aku percaya Mas Damar tak mungkin macam-macam, tapi bagaimana dengan orang lain? Ah mungkin hanya perasaanku saja, toh Wina juga punya suami meskipun tak setiap hari pulang. Wajar saja dia meminta tolong pada kami yang rumahnya berdekatan, apa lagi ini urusan benerin keran, ya mana mungkin dia bisa ngerjain kalau tak minta tolong.

“Kenapa lagi, Sayang?” tanya Mas Damar, tangannya makin erat memelukku.

“Jangan peluk-peluk gini ah, masih sore. Nanti diliatin Milly.”

“Milly lagi konsentrasi belajar, nggak bakal kesini.”

Aku memutar badan, berbalik menghadap Mas Damar. Lelaki yang 13 tahun lalu mempersuntingku itu sama sekali tak berubah, tetap tampan seperti dulu. Perlakuannya padaku juga masih sama, romantis dan penuh perhatian.

Kata orang, semakin lama berumah tangga, maka hal-hal kecil seperti ini sudah jarang terjadi, cinta bukan hal utama yang menjadi prioritas. Tapi aku patut bersyukur, rumah tanggaku tetap hangat seperti dulu, bahkan yang kurasakan cinta pada Mas Damar semakin hari semakin besar. Tak pernah dia mengecewakanku, aku bersyukur memilikinya.

“Kok ngelamun? Senyum-senyum pula,” celetuk Mas Damar, kutatap lekat matanya.

“I love you, Mas ....” Kutenggelamkan wajahku ke dalam pelukannya, memeluknya erat, mencium aroma tubuhnya membuatku tenang.

“I love you too, Sayang ....” Mas Damar membalas pelukanku, usapan tangannya kurasakan membelai lembut kepalaku.

Tok

Tok

Tok

“Ma ... Mama ... dicariin Tante Wina.” Suara panggilan Milly membuat kami tersadar dan segera melepas pagutan.

“Astagfirullah, Mas ... masih sore ini. Tuh kan?” ucapku dengan wajah tersipu.

“Iya, Nak ... sebentar ya.” Aku segera membuka pintu meninggalkan Mas Damar yang masih mematung dengan wajah kecewa.

“Mama ganti bajunya lama banget, Milly nggak ada yang nemenin belajar,” protes Milly saat aku sudah berada di luar kamar.

“Iya maaf ya, Nak ....”

“Hmm ... iya deh dimaafin ... Mama dicariin Tante Wina tuh di depan,” kata Milly dengan bibir sedikit maju, rupanya anakku ini sedikit kesal.

“Iya, Sayang ... makasih ya, Nak.”
Aku berjalan ke arah ruang tamu, tampak Wina berdiri di depan pintu.

“Masuk, Win,” ajakku.

“Nggak usah, Mbak Rea ... terima kasih.” Wina menolak ajakanku.

“Ini buat Mbak Rea, soto Lamongan, kebetulan tadi masak agak banyak jadi bisa kasih sedikit buat Mbak Rea,” ucapnya sembari mengulurkan rantang susun 3 ke padaku.

Aku menerima rantang pemberiannya, “makasih ya, Win. Ayo masuk dulu, nggak enak kalo berdiri di depan pintu begini,” tawarku sekali lagi. Wina mengangguk, lalu segera masuk dan duduk di kursi ruang tamu setelah kupersilahkan.

“Rumahnya enak ya, Mbak ... baru ini masuk ke rumah Mbak Rea. Andai saja suamiku mau membelikan rumah senyaman ini, pasti aku senang.  Sayangnya dia lebih mendahulukan orang lain dibanding kami,” celetuk Wina yang tiba-tiba curhat, matanya bergerak-gerak melihat ke sekeliling ruangan.

“Alhamdulillah rejeki kami, Win,” sahutku tak tahu harus menjawab apa, aku tak terlalu suka ikut campur ke dalam urusan orang lain.

“Rantangnya aku cuci dulu ya, biar bisa langsung kamu bawa.”

“Iya, Mbak,” jawab Wina tanpa melihat ke arahku.

Aku segera ke dapur, menuang soto ke dalam mangkok lalu mencuci rantang milik Wina. Tak lupa kubuatkan juga segelas sirup dingin untuknya.

“Makasih ya, Win. Ayo diminum dulu sirupnya,” ucapku meletakkan segelas minuman dingin di meja, kuberikan juga rantangnya yang sudah kucuci bersih.

“Makasih, Mbak Rea.”

“Mana Keno?” tanyaku lagi.

“Lagi sama neneknya, Mbak.”

“Ibu ke sini? Salam ya buat neneknya Keno,” ucapku. Kekhawatiranku tadi tak berasalan, aku lega, ternyata mereka tak hanya berdua tadi, ada ibunya Wina juga di sana. Mana mungkin berbuat macam-macam.

“Aku seneng kalo ada ibu, ada yang nemenin aku sama Keno. Makanya ini tadi masak soto Lamongan kesukaan Mas Damar. Kalo aku mana pernah masak masakan yang ribet gini, Mbak, mending beli deh.” Ucapan Wina membuatku sedikit terkejut, dari mana dia tahu makanan kesukaan Mas Damar?

“Tadi ibu sama Mas Damar ngobrol, biasalah kalo ngobrolin sesuatu sampe ke mana-mana gitu, sampe ngomongin makanan kesukaan. Kebetulan ibuku juga dari Lamongan, jadi inisiatif buat masak soto Lamongan sebagai ungkapan terima kasih karena tadi diperbolehkan pinjam suami.”

“Hah?! Pinjam suami?” ucapku melongo. Belum selesai rasa heranku karena dia tahu makanan kesukaan Mas Damar, sekarang ada lagi istilah ‘pinjam suami’.

“Maksudnya, ungkapan terima kasih karena Mbak Rea dan Mas Damar sering bantuin aku,” terang Wina cepat. Sepertinya dia bisa membaca keterkejutan dari wajahku.

Kling!

Suara notifikasi terdengar dari ponsel Wina. Benda pipih yang berada di pangkuannya itu terlihat menyala. Tampak foto sepasang lelaki dan perempuan saling merangkul, mungkin itu foto Wina dan suaminya. Tapi kenapa rasanya tidak asing dengan foto lelakinya ya? Seperti Mas Damar, apa hanya perasaanku saja. Atau mungkin mataku harus kuperiksakan?

“Mbak aku pamit ya, takut Keno nyariin,” ucap Wina mengagetkanku, ia sudah bangkit dari duduknya.

“Oiya, Win. Makasih ya buat sotonya, salam buat neneknya Keno,” kataku saat mengantarkannya ke pintu.

Otakku terus berpikir soal wallpaper yang tampak di layar pipih milik Wina, mungkin aku salah lihat. Selama ini hubunganku dengan Mas Damar baik-baik saja, suamiku bersikap seperti biasa.

“Astagfirullah ....” Aku menggumam, membuang prasangka buruk dalam hati. Mungkin memang aku salah lihat, ditambah lagi dari tadi pikiranku curiga terus gara-gara Mas Damar habis benerin keran di rumah Wina.

Hhhh ... kuhela napas, segera kututup pintu dan melangkah ke dalam. Sudah sore, aku harus menyiapkan makan malam.

***

SUAMIKU, SUAMIMU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang