bab 2

54 8 1
                                    

Bab 2

Hari telah berganti, pagi menyapa dengan rona keemasan di ufuk timur. Udara pagi yang sejuk masuk melalui ventilasi menularkan semangat menyongsong hari. Aku berkutat sejak 1 jam yang lalu di depan kompor, menyiapkan sarapan dan bekal untuk Milly berangkat sekolah.

“Alhamdulillah, beres!” gumamku. Nasi goreng sosis dengan ayam goreng tepung sudah terhidang di meja makan. Secangkir kopi susu untuk Mas Damar dan segelas susu cokelat untuk Milly tak lupa kusajikan juga.

Pukul 05.28 saat kutengok benda bulat yang menempel di dinding, sebentar lagi mamang sayur langganan akan tiba.

“Saaaayur! Buuuuuk ... sayur sayuuuur ....”

Suara penjual sayur yang sudah kutunggu terdengar memanggil pelanggannya, aku bersiap mengambil dompet dan berjalan keluar.

“Mas, aku belanja dulu,” pamitku pada Mas Damar yang baru saja selesai mandi. Biasanya aku belanja pagi untuk kumasak sore sepulang kerja.

“Belanja, Mbak Rea,” sapa Bu Endang padaku, perempuan paruh baya itu juga keluar rumah bersamaan denganku. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang lebih dari setengah abad itu tampak rapi dan elegan dengan seragam dinas yang melekat di tubuhnya.

“Iya, Bu Endang, biar nanti nggak bingung mau masak untuk makan malam,” jawabku ramah dengan senyum tersemat.

“Iya, Mbak Rea. Memang harus pintar-pintar atur waktu dan strategi biar nggak kepontalan. Apalagi Mbak Rea pulang kerjanya jam 4 sore, saya yang jam 2 sudah di rumah pun kadang repot kalo harus belanja dulu sepulang sekolah,” terang Bu Endang, wanita berprofesi sebagai guru SD yang pensiun 2 tahun lagi.

Tak butuh waktu lama, gerobak mang sayur sudah dikelilingi oleh ibu-ibu. Terlihat juga Wina yang baru bergabung di antara kami, ia datang bersama wanita paruh baya, mungkin beliau adalah ibunya.

“Tumben Mbak Wina belanja sayur,” celetuk Bu Rita, tangannya tetap aktif memilih-milih dagangan untuk menu makannya hari ini.

“Iya, Bu Rita. Boros kalo beli terus, saya mau belajar masak, mumpung ada ibu saya,” jawab Wina.

“Betul tuh, Mbak Wina. Sayang kalo nggak bisa masak, pelakor sekarang serem-serem,” sahut Bu Nining, dan seketika itu juga gumaman istigfar dari banyak orang terdengar.

“Astagfirullah ... Bu Nining kalo ngomong hati-hati, nggak baik bicara gitu. Kasian Mbak Winanya, nanti kepikiran,” tegur si Mamang Sayur.

“Saya kan niatnya baik, Ko, cuma ngingetin,” jawab Bu Nining tanpa rasa bersalah, membuat kami geleng-geleng kepala melihatnya.

“Jangankan yang nggak bisa masak, yang pintar masak saja suaminya bisa berpaling. Iya kan, Jeng?” tukas ibunya Wina agak ketus padaku. Aku melongo, kenapa tiba-tiba dia bicara begitu.

“Ibu,” tegur Wina pada ibunya.

“Iya kan, Win. Ibu pastikan yang terdzolimi akan mendapatkan haknya. Dan yang serakah ingin menguasai sendiri akan merasakan balasannya.” Ibunya Wina tak peduli dengan teguran anaknya, wanita itu tetap melirikku dengan pandangan yang entah. Seperti tak suka padaku.

Sejurus kemudian wanita tua itu pergi dengan langkah cepat meninggalkan kami semua. Lalu disusul Wina yang mengekor di belakangnya setelah berpamitan pada kami.

“Gara-gara Bu Nining nih, nggak jadi beli dagangan saya deh Mbak Wina,” tukas Mamang Sayur menepuk jidatnya.

“Lah kok kamu nyalahin saya sih, Ko Eko. Dianya aja yang tiba-tiba ngamuk, wong saya cuma ngingetin doank,” bela Bu Nining tak terima disalahkan oleh Eko si mamang sayur.

SUAMIKU, SUAMIMU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang