📍Bogor, 2000
Kemarin mungkin senyum indah miliknya masih bisa dilihat, pun tangan dengan jari-jari lentik itu masih bisa diraba. Namun, siapa sangka? Hari ini, tepatnya setelah perjuangannya di ruang operasi demi memperjuangkan si bungsu. Kini, tubuhnya terbujur kaku. Meninggalkan dua balita kembar yang belum sepenuhnya ia asuh.
Lebih menyakitkan lagi ketika menyadari, bahwa wanita berparas ayu itu tidak pergi sendiri. Melainkan, membawa serta sang buah hati.
"Saya akan membawa jasad Afifa dan putra bungsunya ke Bandung untuk pemakaman." Ada jeda sementara wanita berusia kisaran limapuluh-an itu menatap si kembar yang berada di kanan-kirinya bergantian. "Sesuai perjanjian, mereka akan ikut bersama anak saya; Nizam. Walau bagaimana pun, dia memiliki hak sebagai seorang ayah."
Mahya, selaku satu-satunya wali dari Afifa Nahda, tentu berusaha menolak meski ia tahu hasilnya akan sia-sia. "Afifa sudah saya anggap sebagai putri saya sendiri. Setidaknya, jika saya tidak memiliki hak atas putra-putranya. Berikan saya hak-"
"Keputusan saya sudah bulat, Mahya. Tanggung jawab Anda sudah berakhir sejak pernikahan itu. Afifa sepenuhnya milik keluarga saya, begitu pula putra-putranya."
Lagi, mencoba bernegosiasi. Mahya meremat kedua tangannya di depan dada. "Tapi bagaimana dengan putra bungsu Afifa? Bisakah-"
"Apa Anda tega memisahkan mereka bertiga?"
Mahya memejamkan matanya sejenak. Menarik nafas, kemudian menggeleng pelan. Diam-diam ia termangu, berusaha meyakinkan diri akan keputusan yang dia ambil sebelumnya.
Perlahan wanita yang tidak lagi muda itu berlutut di depan kedua anak laki-laki yang sudah ia anggap sebagai cucu kandungnya tersebut. Digenggamnya tangan-tangan mungil itu, kemudian dikecup lembut. "Kalian selalu jadi kebanggaan bunda, pahlawan-pahlawannya bunda, jadi mulai sekarang abang sama kakak harus bisa saling melindungi ya?"
Si tengah mengangguk semangat, usianya masih 3 tahun, belum sepenuhnya mengerti akan situasi. Namun, tetap berujar tegas sambil mengangkat tinggi kepalan tangannya bak superhero yang mendapat tugas untuk menjaga bumi dari para alien. "Idal aga Afa!"
Tak disangka si sulung yang kepribadiannya lebih pendiam dari sang adik ikut maju. "Afa uga akal aga Idal" /Afa juga bakal jaga Idal/
Mahya tersenyum, meski tak dapat dipungkiri matanya menyorot sendu.
Bahkan, sampai dimana jasad putri dan cucunya dibawa pergi. Dia tetap diam, memandang dengan guratan sedih. Kala itu, pohon bunga sepatu dea menjadi saksi bisu. Bahwa awal mula kekacauan, dimulai dari sebuah kebohongan.
"Maaf,"
Mahya tahu, ini salahnya. Tidak seharusnya dia mengorbankan perasaan putrinya yang lain untuk sebuah kebahagiaan semu. Dia egois, hanya mementingkan salah satu dari keduanya.Tetapi percayalah, tiada harapan orang tua yang buruk terhadap anaknya. Begitu pula, Mahya. Diam-diam, ia berharap banyak. Bahwa bayi kecil yang tengah putrinya dekap di kamar rawat rumah sakit tersebut. Sedikitnya dapat membantu, dan mengobati rindu.
Tetapi, kendati begitu. Mahya tak pernah tahu, apakah ke depannya akan baik-baik saja?
Karena di balik pemandangan hangat tersebut, menyimpan banyak luka dari berbagai pihak. Kelak.
"Ibu cuman bisa ngelakuin ini, Fifa."
To be continued..
050722
Jeon Panda🐼
Nur_Rafiq
KAMU SEDANG MEMBACA
Peruvian Lily
Teen Fiction"Gue pikir ini cuman kebetulan, ternyata benar-benar jalan pertemuan." "Gue pernah bilang sama Tuhan. Kalau senyum bunda tuh bikin candu, ngga nyangka ternyata sekarang gue bisa liat senyum bunda secara langsung."