"Muka lo kenapa masam gitu?"
Haidar yang baru saja akan berbalik kembali menuju koridor arah belakang; kamar mandi, ditahan oleh suara Daffa yang menginterupsi. Di samping pemuda itu, Abqa berdiri sambil membawa gayung dan handuk.
"Si bocil ada utang sama siapa?"
Tanpa basa-basi seperti biasa. Haidar sekali.
"Si bocil?" Beo Daffa heran. Berbeda dengan Abqa yang langsung paham kemana arah pembicaraan mereka.
Segera dia menyahut. "Setahu gue, bulan lalu dia bilang mau pinjam duit sama sepupunya."
"Siapa?"
"Sepupunya itu?"
Raut Haidar yang berubah keruh seketika membuat suasana menjadi sesak. Buru-buru Abqa menyahut lagi.
"Fadhil,"
"Asrama?"
"Lantai dua, nomor 30."
Tanpa kata bahkan ucapan terima kasih, Haidar berbalik menuju tangga di ujung gedung. Wajahnya ketara sekali menahan kesal.
"Daf, dia ngga bakal buat keributan 'kan?"
"Astagfirullah!"
Daffa menyusul. Pun Abqa tak ketinggalan. Mereka agak was-was membiarkan pemuda tempramen seperti Haidar berhadapan dengan pemuda yang tak kalah emosian seperti Fadhil.
"Siapa yang namanya, Fadhil!?"
Begitu sampai di depan pintu bertulisan angka 30, Haidar bersama ketidak sopanannya membuka pintu itu dengan kasar.
"Gue, kenapa?"
Seorang pemuda menyahut. Wajahnya lumayan tampan dengan luka sayatan di alis sebelah kiri. Dilihat dari wajah, pemuda itu tak kalah brandal dengan Haidar.
"Si bocah ada utang sama lo, 20k?"
Pemuda yang mengaku namanya Fadhil, mengernyit. Raut wajahnya penuh tanya.
Tidak menunggu reaksi dari lawan bicara, Haidar segera merogoh saku celana dan memberikan benda putih itu kepada Fadhil. Yang mana membuat si empu terperangah tidak percaya.
"I-ini?"
"Gue ngga ada uang cash, sebagai ganti lo ambil ini dan berhenti ganggu bocil- gue." Satu kata di ujung hanya dia ucapkan di dalam hati.
"L-lo beneran ngasih ini ke gue?"
Haidar mengangkat satu alisnya.
"Anjir gila! Ini mahal lho! Satu pcs nya hampir 3 juta! Mana limited edition!" Pekik Fadhil tak habis pikir. Untung kaumnya, uang tiga juta tidaklah sedikit.
"Ambil!" Haidar mulai jengah. Perkara harga bukan apa-apa baginya. Jika dibandingkan, Luthfi mungkin lebih penting, mengingat anak itu memiliki hubungan keluarga dengannya. Dari pihak ibu. Lagi pula, mod vape yang sempat dia bawa-diam-diam- kali ini memiliki harga paling murah dari banyaknya koleksi yang dia miliki di rumah.
Setelah benda itu berpindah tangan, Haidar segera berbalik untuk berniat pergi. Namun, ia urung begitu mendapati ruat datar di wajah putih Daffa. Sedangkan Abqa tampak memukul pantat gayung dengan senyum mencurigakan.
"Lo nge-pod?"
Haidar mengernyit. Tidak paham.
"Ikut gue!" Titahnya sembari menarik bahu Haidar, lalu menoleh ke arah Fadhil. "Lo juga! Bawa vape nya sekalian!"
"Hahahaha, gue duluan ya, Daf!" Seru Abqa.
Mereka berdua awalnya berniat mandi sebelum antrian semakin panjang menjelang ashar. Tetapi, di tengah jalan bertemu Haidar dan begitulah~
![](https://img.wattpad.com/cover/314889985-288-k465970.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Peruvian Lily
Teen Fiction"Gue pikir ini cuman kebetulan, ternyata benar-benar jalan pertemuan." "Gue pernah bilang sama Tuhan. Kalau senyum bunda tuh bikin candu, ngga nyangka ternyata sekarang gue bisa liat senyum bunda secara langsung."