02. Anak Ibu Aruna

3.9K 325 6
                                        

Selamat membaca lembar kehidupan Juan. I hope you like and keep support this story.


"Anak bodoh!"

Juan meringis mendengar bentakan yang terdengar samar itu. Bukan, bukan ia yang dibentak, tapi anak tetangga. Juan yang sedari tadi mengintip bergidik ngeri dan juga kasihan terhadap bocah sepuluh tahun yang dibentak habis-habisan oleh ibunya hanya karena tidak sengaja menjatuhkan pot bunga sang ibu hingga hancur.

Bocah sepuluh tahun itu sudah menangis. Berulang kali ia berucap maaf, namun sang ibu tetap saja marah. Sungguh ia tidak sengaja menjatuhkan pot itu. Tangan kecilnya mengusap lengannya yang dicubit berkali-kali oleh sang ibu.

"Kasian amat lo, Cil," gumam Juan.

Duk

"Akh.."

Juan meringis ketika seseorang memukul kepalanya dan menarik rambutnya kuat. "I-ibu..." Juan meneguk ludahnya susah payah kala tahu siapa yang memukul dan menarik rambutnya, itu sang ibu yang tampaknya baru saja tiba.

"Bagus, ya, Ju.. Ibu tinggal sehari aja udah malas-malasan gini. Nggak liat halaman rumah kotor banget apa gimana? Kenapa nggak dibersihin, hah?" Nada tegas itu terdengar menakutkan di telinga Juan. Remaja pucat itu hanya bisa meringis sebab rambutnya masih ditarik.

"Maaf, Bu. Juan baru mau bersihin kok."

Bohong dosa loh, Ju.

Juan tentu saja berbohong, ia bahkan sama sekali tidak berniat bersih-bersih hari ini. Niatnya ingin rebahan saja karena hari ini adalah hari Sabtu yang artinya libur dan tidak ada sang ibu di rumah. Tapi, ternyata, sang ibu pulang lebih awal dari dugaannya.

"Ngeles aja kamu! Bersihin sekarang atau hari ini kamu nggak dapat makan," ancam sang ibu. Aruna namanya. Wanita yang terlihat masih muda itu begitu marah saat melihat halaman rumah yang begitu kotor.

"Jangan gitu dong, Ibu. Kalau Ibu nggak ngasih Juan makan, siapa yang bakal—"

"JUAN!"

Aruna membentak, ia tidak suka mendengar suara Juan. Ia pusing, ia lelah ingin beristirahat, bukan berdebat dengan sang anak.

"Iya, Bu, iya."

Juan memilih menurut daripada membuat sang ibu marah. Tidak baik menyulut emosi ibunya itu jika sedang lelah, yang ada ia akan mampus.

Baru saja hendak melangkah, tangannya lebih dulu ditarik dengan kuat hingga ia terhuyung ke belakang. Ia menatap heran ibunya itu, apalagi salahnya coba?

"Berantem sama siapa lagi kamu, Ju?"

Suara Aruna tak lagi tinggi, namun sarat akan amarah, pun dengan matanya yang menatap tajam sang anak. Ia baru sadar jika wajah bujangnya itu babak belur.

Juan diam, bingung harus bagaimana. Jika ia jawab ia berkelahi dengan kakak kelasnya, pasti ia akan dimarahi habis-habisan, jika ia diam pasti akan lebih dari itu.

"Anu..." Juan tentu saja takut.

"Siapa?! Kenapa, sih, kamu selalu bikin Ibu kesal? Kamu pikir kelakuan kamu ini nggak buat Ibu malu, Ju? Ibu malu, sangat malu, JUAN! Setiap Ibu keluar, tetangga selalu ngomong yang enggak-enggak tentang Ibu, 'Ibu nggak becus lah', 'Ibu inilah, Ibu itulah'. Ibu malu, Juan!"

"Maaf, Bu."

"Harusnya dari awal Ibu gugurin kamu aja," ujar Aruna dan setelahnya ia melenggang ke kamarnya, meninggalkan Juan yang lagi-lagi terluka akibat ucapan.

Juan mendongak, mencoba menghalau liquid bening yang ingin keluar. Tentu saja ia sakit hati mendengar perkataan sang ibu, tapi ia masih sadar diri bahwa memang hadirnya tak pernah diharapkan.

Juan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang