1| An Old Friend

2.1K 191 35
                                    

Begitu Mama bangkit dari duduk, segera kucekal lengannya sebelum ibuku itu pergi. "Bentar, Ma! Enggak usah bercanda!" seruku sambil ikut berdiri. Dan mungkin karena nada bicaraku yang tiba-tiba meninggi, kedua mata Mama langsung melebar. Tatapan matanya menjadi tajam, seolah ingin menerkamku hidup-hidup.

"Yang bercanda itu siapa, Cha? Mama serius! Dan Mama enggak mau kamu nolak!" Dengan kasar Mama melepaskan lengannya dari cengkeramanku. "Kuliah enggak beres, usia udah 24, mana enggak punya pacar. Kamu ini jangan-jangan penyuka sesama jenis, ya?"

"Astaghfirullah!" Kusibakkan rambut depanku dengan kasar. "Tega banget Mama--"

"Ya, kamu yang tega sama Mama, Cha!" Mama memotong perkataanku dengan jeritannya yang melengking, membuatku spontan mundur selangkah ke belakang sambil memegang dada kiri.

"Enggak kasian kamu sama Mama, yang tiap kumpul keluarga selalu ditanyain apa kamu udah lulus, mau kerja di mana, dan apa udah punya calon?" Kedua mata Mama makin melebar, dan bahkan sekarang kedua tangannya mengepal kuat. "Mama capek banget kalau kamu selalu dibilang begini begitu. Enggak kaya Tasya yang IPK-nya bagus dan pernah menang lomba KTI."

Mama menjeda sejenak. Aku bisa melihat dia menghela napas kuat-kuat, sebelum akhirnya menyemburku lagi dengan kata-kata bernada lebih tinggi. "Mama capek juga liat kamu enggak jelas begini. Usia udah 24 tapi belum lulus kuliah. Mau jadi apa kamu? Dulu udah dibilangin jangan ambil jurusan itu. Kuliah aja di kedokteran atau farmasi kaya adekmu. Malah aneh-aneh ambil pangan!"

Aku tak menjawab, memang memilih diam saja sambil menatap Mama yang sudah berhenti mengomel untuk mengatur napasnya. Mama temperamen, meski sebenarnya sama juga denganku dan adikku, Tasya. Kami yang memang sama-sama temperamen ini sering terlibat pertengkaran, bahkan tak jarang sampai saling mendiamkan selama berhari-hari.

Bedanya, Tasya bisa dengan cepat mendapatkan maaf Mama, karena dia sempurna. Cantik iya, pintar iya, berprestasi iya, punya pacar pun seorang calon dokter.

Sementara aku? Hah! Bahkan, aku sendiri saja tak bangga akan diriku ini. Tidak bisa bersolek, kuliah berantakan dan tidak kunjung lulus. Bersosialisasi dengan orang pun enggan. Apalagi punya pacar.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku lekas berjalan pergi menjauh dari Mama. Namun, dia justru meneriakiku dengan kata-kata yang menyakitkan hati. "Pokoknya kamu harus mau dengan Dhani. Udah untung Dhani yang finansialnya mapan dan anak orang terpandang itu mau sama kamu yang masih kaya begini!"

Aku terus berjalan menjauh menuju pintu keluar. Sementara Mama masih terus mengomeliku. "Kamu belum pernah ngerasain gimana ada di posisi Mama, Cha! Mama ini udah janda, papa kamu udah enggak ada, enggak bisa bantu belain kalau kita dihina orang! Mama cuma enggak mau kita sekeluarga diinjak-injak orang lain, terlebih keluarga besar papamu itu!"

Mama berteriak lebih kencang. Kali ini bercampur dengan isak tangis. "Icha! Icha! Durhaka kamu, Cha! Kebangetan kamu!"

Lalu, suara Mama tak lagi terdengar begitu aku sudah menjalankan motor matikku menjauh dari rumah. Yah, memang mungkin benar aku anak durhaka yang tak mau menurut pada orang tua. Mama adalah satu-satunya orang tua yang kumiliki sekarang, setelah Papa meninggal sepuluh tahun lalu.

Namun, makin hari Mama makin keterlaluan. Tak hanya membanding-bandingkanku dengan Tasya di depan kami berdua, tetapi bahkan di depan keluarga besar atau tetangga pun tak jarang Mama mengeluhkan ini itu tentangku. Bukankan itu sama saja dia membuka aib anaknya sendiri?

Maybe Tomorrow [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang