7| Sunday Morning

530 85 4
                                    

Rasanya aneh sekali dibonceng lelaki selain Juna. Iya sih memang beberapa kali aku pernah naik ojol. Namun, konteksnya di sini berbeda. Juna dan Faris kan teman-temanku, berbeda dengan hubungan antara aku dan pengemudi ojol yang tidak ada ikatan rasa apa pun selain penyedia jasa dan pelanggan.

Kalau Juna, mungkin karena dulu sudah terbiasa boncengan dan aku juga memiliki perasaan suka padanya, jadi ya nyaman-nyaman saja. Namun, kalau dengan si Faris ini terasa sekali groginya. Pertama, meski berteman, kami tak terlalu dekat dan sudah lama terpisah sebelum akhirnya bertemu lagi. Dan kedua, kami tak memiliki perasaan apa pun selain teman. Sekadar teman, dan bukan teman dekat atau sahabat seperti aku dan Juna.

"Kalau aku naiknya terlalu kenceng, bilang ya, Cha," kata Faris tiba-tiba, membuat lamunanku buyar. Kami berada di lampu merah, dan hampir sampai di Ijen Boulevard, tempat CFD Malang berada.

"Eh, enggak tuh. Kamu naik cuma 50-an km/jam, kan?"

"Iya," jawab Faris. "Ngintip spidometerku, ya?"

"Iya, hehe." Lalu, aku bertanya lagi, "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba bahas masalah laju motor yang kenceng, padahal cuma 50 aja kecepatanmu?"

"Oh, itu." Faris menjalankan lagi motornya ini, lalu melanjutkan dengan nada lebih kencang, karena suaranya beradu dengan angin dan deru kendaraan di sekitar kami. "Soalnya kamu kaya tegang banget. Makanya aku mikir, apa naik motorku kenceng gitu."

"Hah? Kok kamu bisa liat wajahku yang kata kamu tegang? Mata kamu ada yang di belakang helm, ya?"

Faris terbahak-bahak, lalu menjawab, "Duh, Cha. Apa sih fungsi spion? Masa iya gunanya cuma buat mempercantik si Jenny?"

"Jenny?" Justru itu yang kutanyakan, bukan malah mengomentari sindiran Faris tentang spion.

"Dedek yang kita naikin ini. Jenny namanya."

Selama beberapa detik aku mencerna perkataan Faris, sampai akhirnya setelah sadar, tawaku tak bisa kutahan lagi. Entah bagaimana tanganku sudah bergerak dan mencubit pinggang Faris, membuat lelaki itu menjerit kecil.

"Motor pun dinamain. Mana dipanggil 'dedek' pula. Absurd banget kamu!"

Faris ikut terbahak-bahak. "Namanya juga Baim, ye kan?"

Kami terus bercanda sampai motor ini sampai di Ijen. Faris memilih memarkir motornya di sekitar gereja Ijen, lalu kami berdua berjalan menuju area CFD. Seperti biasanya, Minggu pagi di sini sangat ramai. Pengunjung dan pedagang membaur menjadi satu. Hawa yang agak dingin karena pagi tadi setelah subuh sempat gerimis pun tak membuat gentar orang-orang yang datang. Ada yang sendirian, bersama keluarga, pasangan, teman-teman, bahkan hewan peliharaannya.

"Udah sarapan, Cha?" Faris tiba-tiba mendekat ke arahku dan bertanya demikian.

Gerakan mendadak Faris yang sampai membuat bahunya menabrak bahuku itu membuatku bisa mencium bau parfum maskulinnya. Aneh, padahal waktu dibonceng olehnya di motor tadi, bau parfumnya tak terlalu tercium olehku.

"Belum, lah." Aku menjawab pertanyaan Faris sambil bergerak agak menjauh darinya. Tiba-tiba rasa canggung kembali mendatangiku. "Makan apaan sebelum jam enam pagi, coba? Angin?"

Faris tertawa geli, lalu mengodeku untuk mengikutinya menuju ke arah timur. "Aku aja udah sarapan abis sholat Subuh di masjid tadi."

"Mie instan lagi?"

Tawa Faris mengencang begitu mendengar pertanyaanku, tetapi dia mengangguk sebagai jawaban. Tingkahnya yang spontan dan lucu itu membuatku ikut mengeluarkan tawa geli. Bagaimana bisa, ya? Saat bersama dengan Faris, sosok Icha yang biasanya sangat menjaga agar tak terlalu menampakkan suasana hati, atau merasa begitu bebas mengekspresikan diri--termasuk tertawa atau bahkan menggerutu--seperti berubah 180 derajat.

Maybe Tomorrow [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang