Alana membuka mata pagi harinya. Semua terasa berbeda. Tak ada lagi yang berbaring disampingnya. Mengucapkan selamat pagi lalu mengecup lembut keningnya. Bertanya tentang rencana hari ini, atau meminta dimasakkan sesuatu. Tak ada lagi pelukan erat menjelang tidur selesai berbincang tentang kegiatan satu hari. Semua sudah hilang dan takkan kembali lagi. Ia tidak pernah bermimpi akan mengalami ini. Dalam bayangannya dulu, pernikahan mereka akan berlangsung lama. Punya anak-anak lalu menua bersama. Kembali air mata menetes tanpa bisa dicegah.
Ia sengaja tidak mengganti sprei dan apapun yang ada di kamar. Ingin lebih lama merasakan 'kehadiran' Ben. Bahkan tadi malam ia tidur berselimutkan handuk yang dipakai suaminya sebelum pergi. Cukup bisa menenangkan hatinya yang hancur, saat menyadari masih ada aroma yang tertinggal. Padahal dulu ia yang paling marah kalau handuk tidak segera diletakkan di keranjang pakaian kotor. Tapi suaminya tak peduli, malah tertawa ketika melihatnya mengomel.
Perempuan itu kemudian duduk tapi kepalanya terasa pusing. Sehingga kembali merebahkan tubuh karena merasa tidak sanggup. Kali ini seluruh ilmu kedokteran yang dimiliki tak lagi berguna. Ia bahkan tidak mengingat satupun jenis obat yang bisa mengurangi rasa sakit kepalanya. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Pintu terbuka, dan ada sosok ibu mertuanya yang kini masuk ke dalam kamar. Sesuatu yang tidak pernah terjadi semenjak mereka menikah.
"Alana, sarapan dulu, sayang."
Perempuan yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandung. Menyayangi tanpa peduli kalau ia tak pernah tinggal di rahimnya kini masuk. Seorang ibu yang selalu menganggapnya sebagai anugerah di rumah ini. Kapankah semua akan berakhir? Ia takkan punya hak lagi untuk tinggal di sini dan menikmati semua karena kepergian Ben.
"Lana kenapa?"
"Enggak apa-apa, Mi. Kepala Lana pusing."
"Kamu kebanyakan menangis. Sarapannya mami antar ke kamar aja, ya."
"Nggak usah, aku mandi aja dulu. Mungkin lebih segeran nanti."
"Atau Mami panggil dokter saja dulu. Supaya kamu diperiksa. Sudah berapa malam kurang tidur."
"Enggak usah, nanti aku telfon teman saja untuk bawakan obat."
"Kalau begitu mami turun dulu mengambil teh. Kamu di sini saja."
Kini Alana mengangguk. Ia benar-benar tak sanggup berdiri.
***
Adrian baru saja selesai memasak sop ayam dengan beberapa bumbu yang menurutnya bisa menambah stamina. Pria itu menyadari bahwa keluarganya tengah butuh nutrisi agar bisa kembali beraktifitas. Meski suasana hati mereka jelas tidak bisa diobati oleh makanan yang dimasaknya. Segera pria itu menyajikan pada kedua orang tuanya.
"Dri, buatkan satu mangkok lagi untuk Alana."
Pria itu membuatkan. Menaruh bumbu tambahan ke dalam sebuah piring kecil lalu menyerahkan pada seorang asisten rumah tangga untuk mengantar ke kamar adik iparnya.
"Alana kenapa Mi?"
"Badannya hangat, wajahnya pucat. Tadi katanya pusing. Sudah mami bilang untuk panggil dokter, tapi katanya nanti ada temannya yang akan mengantar obat."
Adrian segera meletakkan sendok lalu meminum air putihnya.
"Kamu kenapa?" tanya Carl Tjakra, ayahnya.
"Tidak, cuma mau minum."
"Kamu banyak pekerjaan?" tanya sang ibu.
"Selalu ada pekerjaan, Mi. Aku akan di sini sampai besok."
"Kok, cepat sekali." Giliran Lucia Tjakra yang terlihat kecewa.
"Ada banyak pekerjaan."
"Kalau sedang di Jakarta kamu bisa menginap di sini, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG RASA
RomanceAdrian adalah seorang chef ternama. Pria yang memiliki tiga buah restoran di Jakarta, Bali dan Singapura ini terkenal sibuk. Ia sudah berkomitmen menikah dengan pekerjaannya. Alana adalah istri Benjamin, adik laki-laki Adrian yang berprofesi sebagai...