Sang Pengantar Surat.

185 9 0
                                    

Alkisah, pada suatu hari, di sebuah kerajaan nan jauh disana. Hiduplah seorang gadis yang dikelilingi oleh kemewahan, namun tidak pernah menikmatinya. Dia adalah gadis yang cinta alam, berjiwa bebas, petualang dan senang berpergian. Namun, meskipun dia sangat kaya, dia tidak pernah sekalipun menikmati kehidupannya. Ia selalu terkurung seperti burung di dalam sangkar. Tidak pernah terpikir olehnya, kalau dia hanya butuh sedikit untuk merasa bahagia,

Secercah harapan muncul saat ia melamun di balkon kamarnya, dan semua itu dibawa secara tidak sengaja oleh seekor burung.

“Tuan putri sedang apa? Tuan putri sudah berdiri di balkon ini cukup lama. Nanti tuan putri bisa sakit”. Tidak, itu bukan Tamara yang berbicara. Meskipun kedua nya memiliki banyak kesamaan, keduanya hidup di dunia yang sangat berbeda. Takdir gadis itu belum dituliskan.

“Disini tidak dingin kok, Randini. Kamu terlalu khawatir”

“Itu tugas saya, tuan putri…”

“Jangan panggil aku dengan embel-embel itu. Panggil saja Tamara.”

“Baiklah terima kasih tuan putri… AH- maksud saya, nona Tamara.”

“Kedengarannya lebih baik seperti itu.” Tamara tersenyum ke arah Randini, “terkadang karena panggilan kerajaan, rasanya aku akan melupakan namaku sendiri. Aku jarang sekali dipanggil langsung dengan namaku.”

Randini membungkuk pada sang putri dengan senang dan tepat saat dia ingin mengatakan sesuatu, dia melihat seekor burung hantu terbang mendekati balkon dan perlahan-lahan bertengger di pagar besi balkon, persis dihadapan Tamara.

“Nona, itu burung hantu kan?”

“Benar, Randini. Tapi ngomong-ngomong kamu tidak punya tugas lain selain mengikutiku?” Tamara melipat kedua tangannya, sambil berdecak kesal. Kapan sehari saja, ia tidak diikuti pelayan atau penjaga kerajaan?

“Tidak ada…” Randini tidak kaget dengan kedatangan burung hantu itu. Tapi dia kaget karena seseorang berani mengirimkan surat pada sang putri lewat burung itu.

“Seseorang berani mengirim surat pada nona!”

“Hey, tenang dulu. Belum tentu surat itu untukku.”

“Nona, tidak mau membaca atau melihat suratnya terlebih dahulu?”

“Tentu saja akan kubaca.” Tamara membaca surat itu tanpa menghiraukan Randini. Ia tau Randini bukanlah pengumbar berita-berita tidak jelas.

“Wah? Nona tersenyum! Artinya pasti isi nya baik! Apa isi suratnya?”

Tamara dengan cepat menyembunyikan surat itu dibalik badannya dan berusaha terdengar dingin, begini kata Tamara, “itu tidak penting, Randini. Lagipula aku tidak harus membahasnya denganmu.”

“Bukan bermaksud seperti itu nona. Saya hanya senang sekali melihat nona tersenyum seperti itu. Sudah jarang saya lihat nona tersenyum.

“Kalau begitu, aku akan lebih senang kalau kamu bisa membawakan aku makanan.” Randini meninggalkan balkon setelah mendengarkan perintah dari Tamara.

Tamara memberikan segenggam biji ke burung hantu itu, dan burung itu duduk di dekatnya.

“Ayo burung kecil nan lucu, waktunya istirahat, makanlah ini…”

Setelah memberi makan dan bermain sebentar dengan burung hantu itu. Tamara akhirnya sendirian di kamarnya, ia duduk dengan nyaman dan memastikan tidak ada siapapun di sekitar. Dia membuka surat itu lagi, dan membaca dengan perlahan.

“Putri Tamara yang cantik.
Saya berani menulis surat ini karena saya sangat terpesona dengan kecantikan tuan putri. Sehari saja tanpa melihat wajah tuan putri terasa seperti sehari tanpa sinar matahari.”

QUEENDOM | WONYOUNG & SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang