2.2

1.4K 91 14
                                    

Past (How It Start)

Pertengahan Februari, 17:35 p.m.

Waktu itu langit tampak kelabu gelap, kami punya kurang dari satu jam sebelum matahari benar-benar tenggelam dan rapat kami di kediaman pamanku juga benar-benar usai. Selama itu, aku mengutuk hujan yang tak mungkin reda dalam waktu dekat.

Aku mengunci pandanganku pada Kinn, di monitor, glitch dan kendala jaringan yang terjadi membuat seluruh anggota keluarga panik lantaran kualitas aplikasi rapat kami menurun. Di sisi kanan ruangan tempatku duduk, dua pengawal keluarga mayor, Big dan Ken, atau siapapun itu, mengirimkan pesan pada Arm lewat aplikasi lain, mengetik panjang apa yang seharusnya mereka lakukan dan juga apa yang seharusnya tidak mereka lakukan, berusaha mengatasi apa yang ada di hadapan mereka sesingkat mungkin.

Tapi aku tahu ayahku bukan orang yang sudi menunggu mereka bahkan untuk satu menit lamanya, jadi ia meminta pamanku untuk menunda rapat hingga lusa, lalu kami akan kembali ke sini.
Supir mengantar ayahku pulang bersama Macau, sedangkan aku masih berdiri di ruang rapat kami, melihat ke luar jendela saat keluarga mayor dan pengawal yang masih tersisa satu persatu pergi memikirkan urusan mereka masing-masing.
Kinn menjadi yang terakhir meninggalkan ruangan, ia terlihat tidak benar-benar menyudahi separuh kerjaannya yang tersisa di ujung rapat. Ia menyuruh Porsche membantunya membereskan perangkat dan berkas yang ia bawa sebelum pergi makan malam.

Dalam ingatanku, keluarga kami tidak pernah punya hubungan baik di luar bisnis. Ayahku memimpikan kehidupan yang pamanku jalani, ia merubah dirinya sendiri dan anak-anaknya menjadi maniak, termasuk aku. Tentu keluarga mayor mengetahui hal itu, dan kami semua benar-benar menjauhi hubungan pribadi dalam segi apapun.
Meski demikian, aku melihat entitas lain di balik sikap 'profesional' Kinn hari ini yang menjadi alasanku menolak mengalihkan pandanganku pada dirinya dan sialnya ia menyadari hal itu.

Porsche berbelok ke luar pintu ruangan saat Kinn melangkah ke arahku.
"Tatapanmu barusan jauh lebih intens dibanding kau menatap jalanan di luar sana." Kinn menyandarkan punggungnya ke kaca jendela seraya tersenyum.
"Aku punya alasan,"
"Informasi apa lagi yang ingin kau dapatkan dari keluarga mayor?"
"Bukan itu, bajingan, ini hanya pikiranku pribadi." aku lupa bahwa kami membangun batasan karena bisnis sejak awal.
"Ya, terserah, apapun yang kau inginkan," Kinn bertolak, namun berhenti sesaat setelah melewatiku.
"Resto masih melayani tamu jika kau ingin mampir, aku akan minta tolong pada Porsche untuk menaruh makan malam di kamarku."

Aku berbalik, mengikuti Kinn di lorong dan menuju lift. Dalam batas gerak seluas dua meter persegi, aku bisa merasakan canggung yang luar biasa mulai menguap di sekeliling kami.
"Ekhm.. apa Porsche masih bersamamu?" aku berdeham pelan, menilik ekspresi Kinn lewat pantulan pintu perak lift. Ia spontan menoleh ke arahku dan mengernyit.
"Kenapa kau tertarik?"
"Kau tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain," dan entah karena heningnya lift atau aku yang delusional, Kinn mulai mendekat padaku, ia tersenyum, mengurung badanku ke sisi kiri lift sementara ibu jarinya menekan bibir bawahku.
"Vegas, dengan bibir cantikmu ini, kau seharusnya tidak punya kuasa atas jawabanku," tangannya diam di rahangku, dia menarikku lebih dekat dan aku bisa merasakan embusan tenang napasnya, "kau hanya perlu diam," Kinn mengecup pipi kananku, "dan mengawasi." sekarang pipi kiriku.
"Sinting." aku mendorongnya lantaran ragu atas keputusanku untuk membuang penyekat pribadi yang menjadi batasan sejak awal.

Dentingan lift memberi jeda pada kami, Kinn melangkah keluar sementara aku berniat turun ke lantai dasar seraya merapikan kemejaku yang kusut saat pintu lift nyaris menutup.
"Jaga dirimu, Kinn. Imajinasiku untuk merebutmu dari Porsche tampaknya gagal."
Kinn tercekat, ia berbalik, menahan pintu lift dengan satu lengan sebisa mungkin.
Sebaliknya, aku tidak sempat memproses semua tindakannya dalam satu waktu, yang ku tahu, ia menarikku ke luar dan membawaku ke ruangannya.

Kinn membanting pintu di belakang kami, aku berkali-kali memberontak dan memukul punggungnya namun Kinn hanya mengacuhkanku sama sekali, tubuhku lebih pendek dan kecil dibandingkan postur tinggi penuh otot miliknya.
Kinn melemparku ke atas tempat tidurnya dan seketika menamparku
"Ulangi apa yang kau katakan tadi."
"Aku bukan bermaksud unt-"
"Kau tidak bisa menarik ucapanmu, Vegas."

Kinn menutup jarak di antara kami, mengecup bibirku. Kami bercumbu seakan kami tidak sedang berada di kediaman pamanku sendiri dan Kinn masih sepupuku. Kami bercumbu seakan ada tempat tidur yang menanti kami setelah semua bisnis dan kesibukan keluarga Theerapanyakun beres.
Lalu kami berciuman lagi, cukup lama, lebih lama kali ini, kedua lutut di balik celana katun miliknya beradu dengan paha bagian dalamku, dan angin dari pendingin ruangan meniupkan aroma shampoonya.

Aku mengetahui tiga hal malam itu: 1.) seks tidak semesra ciuman kami, 2.) aku kewalahan karena Kinn mendominasi diriku tanpa ampun, dan 3.) Porsche putus dengannya waktu ia datang mengantarkan makan malam sekian detik setelah kami orgasme.

END.

The Borderline [KinnVegas]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang