08. Juan Anak Kuat

2.1K 231 7
                                    

Selamat membaca lembar kehidupan Juan. I hope you like and continue to support this story.




Aruna memandang penuh amarah sang anak. Pagi ini harusnya ia awali dengan penuh ketenangan, namun setelah tahu sang anak diskors selama seminggu, amarahnya tersulut. Entah apalagi yang anaknya itu perbuat hingga pihak sekolah menskorsing anaknya itu.

"Kali ini siapa lagi yang kamu hajar, Ju? Kamu tidak lelah membuat Ibu terus marah dan malu karena omongan tetangga tentang kamu yang berandalan?" tanya Aruna.

"Maaf, Bu."

Juan hanya mampu berucap maaf. Ia tahu dirinya memang salah, sangat salah karena lagi-lagi membuat sang ibu kecewa.

"Ibu tidak butuh maaf kamu, Juan."

"Jadi, benar kamu berkelahi lagi?" lanjutnya bertanya.

"Iya."

Aruna memijit pelipisnya, pusing dengan kelakuan sang anak.

"Ibu nyekolahin kamu agar kamu bisa berguna, Ju. Agar nanti kamu tidak terus-terusan menjadi beban Ibu, Ibu capek kalau kamu terus seperti ini. Kamu pikir nyekolahin kamu nggak perlu biaya? Perlu, Juan. Dan semua itu tidak murah!" Aruna membentak.

"Maaf, Bu. Maafin, Juan. Juan punya alasan kenapa Juan berantem, Bu," ujar Juan mencoba membela diri, berharap kemarahan sang ibu dapat mereda.

"Alasan? Alasan apa yang membuat kamu harus berkelahi hingga diskorsing?"

"I-tu.. dia ngehina Ibu, makanya Juan marah. Juan nggak suka dia jelek-jelekin Ibu," jawab Juan.

"Hanya itu? Hanya karena itu kamu sampai memukul anak orang? Juan.. Ibu memang perempuan yang hina dan menjijikkan, jadi kenapa kamu harus marah, hah?"

Entah bagaimana cara berfikir Aruna sampai marah saat tahu sang anak tidak suka jika ia dihina.

"Tapi, Juan nggak terima saat Ibu dihina-hina, rasanya hati Juan sakit, Bu!" seru Juan, bahkan remaja itu sampai meneteskan air matanya. Juan memang selalu lemah jika menyangkut sang ibu.

"Tidak usah menangis, sialan! Kamu pikir gara-gara siapa hingga Ibu kamu ini selalu dihina, hah? Gara-gara ayahmu yang brengsek itu, bodoh! Andai saja dia mau bertanggung jawab, Ibu tidak akan pernah mendapat hinaan seperti itu, Juan!" Aruna murka melihat air mata Juan. Ia menjatuhkan dirinya di sofa, menyandarkan kepalanya di kepala sofa.

"Andai kamu nggak pernah ada, Ju. Hidup Ibu pasti akan baik-baik saja," lirih Aruna.

Air mata Juan semakin deras. Ia sakit, ia sakit melihat sang ibu seperti itu. Ibunya yang terlihat rapuh karena dirinya. Ibunya yang hancur karena hadirnya. Andai saja ia tahu hadirnya hanya akan melukai orang lain, maka ia tak akan pernah meminta untuk dilahirkan.

"Maaf, Bu. Maafin, Juan." Lagi dan lagi, Juan hanya mampu meminta maaf.

Drrtt drrtt

Aruna mengambil ponselnya yang berbunyi. Wanita itu menghela napas panjang kala melihat bahwa atasannya lah yang menghubunginya. Ia yakin pasti sedang dicari karena ini sudah jam setengah sembilan, tapi ia belum menampakkan dirinya di kantor.

Tanpa berucap sepatah kata, ia pergi. Meninggalkan Juan yang masih terisak. Aruna tak peduli, ia sudah sangat lelah mengurus anaknya itu.

.
.
.

Aruna melangkah terburu-buru masuk ke dalam gedung yang menjadi tempat kerjanya. Dari tadi atasannya terus menelponnya, menanyakan keberadaannya.

Bruk

Tanpa sengaja ia menabrak seseorang, segera ia meminta maaf. Aruna tak tahu siapa yang ia tabrak karena ia sibuk memunguti berkas-berkasnya. Hingga ketika suara orang itu terdengar, dunianya seakan berhenti. Dan ketika netranya bersibobrok dengan netra milik orang itu, luka lama kembali menganga lebar.

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang